Suara.com - Kasus korupsi Mbak Ita ini membuka kotak pandora yang memperlihatkan carut marutnya hubungan atasan-bawahan dalam birokrasi, di mana batas antara loyalitas, inisiatif, dan jebakan menjadi sangat kabur.
Dalam pledoinya, Mbak Ita dengan tegas membantah telah memeras atau bahkan proaktif meminta uang dari dana yang disebut "Iuran Kebersamaan".
Dana ini diduga dikumpulkan dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan dikelola oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) saat itu, Indriyasari alias Iin.
"Terkait Iuran Kebersamaan, ini adalah yang paling menghabiskan energi di dalam persidangan. Karena awalnya sejatinya sejak awal saya tidak pernah namanya meminta bahkan kata-kata yang keluar dari mulut Kepala Bapenda yaitu memeras," ungkap Mbak Ita di hadapan majelis hakim.
Ia menggambarkan dirinya sebagai korban dari inisiatif bawahannya. Menurutnya, Indriyasari datang sendiri untuk menyerahkan uang tersebut dengan dalih sebagai "tambahan operasional," bahkan mencatut nama mantan wali kota sebelumnya.
Mbak Ita mengaku khilaf karena telah mengiyakan pemberian tersebut, sebuah pengakuan yang justru menjadi bumerang.
Logika Terbalik: 'Kalau Tahu Banyak, Kenapa Saya Minta Sedikit?'
Di sinilah argumen Mbak Ita mengambil tikungan yang paling tajam dan mengundang perdebatan.
Alih-alih membuktikan dirinya bersih, pembelaannya justru terdengar seperti sebuah kalkulasi yang salah.
Baca Juga: KPK Beberkan Aliran Rp28,38 M ke Kantong 2 Anggota DPR dari Dana CSR Bank Indonesia
Ia mempertanyakan logika tuduhan pemerasan dengan menyoroti jumlah uang yang diterimanya, yang dianggapnya terlalu kecil dibandingkan total dana yang terkumpul.
"Buat apa saya memeras? Kalau saya memeras, kalau saya tahu terkait dengan jumlah iuran yang ada sebanyak Rp600 juta atau mungkin bahkan kemarin saya baru baru tahu ada sampai Rp1 miliar, kenapa saya hanya meminta 300? Mbok iyo, saya ini bisa minta semuanya," terangnya dengan nada penuh penekanan.
Pernyataan ini, bagi sebagian kalangan, terdengar seperti blunder fatal.
Alih-alih membersihkan namanya, kalimat tersebut justru bisa diinterpretasikan sebagai penyesalan karena tidak memaksimalkan "peluang" korupsi yang ada.
Bagi generasi muda yang semakin kritis terhadap pejabat publik, logika semacam ini bukan hanya sulit diterima, tetapi juga memperkuat sinisme terhadap mentalitas korup yang mungkin telah mengakar.
Saksi Kunci vs. Terdakwa: Peran Indriyasari dalam Drama Birokrasi
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Bupati Bekasi dan Ayah Dicokok KPK, Tata Kelola Pemda Perlu Direformasi Total
-
Menteri Mukhtarudin Terima Jenazah PMI Korban Kebakaran di Hong Kong
-
KPK Ungkap Kepala Dinas Sengaja Hapus Jejak Korupsi Eks Bupati Bekasi
-
Bupati Bekasi di Tengah Pusaran Kasus Suap, Mengapa Harta Kekayaannya Janggal?
-
6 Fakta Tabrakan Bus Kru KRI Soeharso di Medan: 12 Personel Terluka
-
Pesan di Ponsel Dihapus, KPK Telusuri Jejak Komunikasi Bupati Bekasi
-
Rotasi 187 Perwira Tinggi TNI Akhir 2025, Kapuspen Hingga Pangkodau Berganti
-
KPK Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Kantor Ayahnya
-
Kejari Bogor Musnahkan 5 Kilogram Keripik Pisang Bercampur Narkotika
-
Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai Rokok 2026: Kebijakan Hati-Hati atau Keberpihakan ke Industri?