News / Nasional
Jum'at, 05 September 2025 | 07:23 WIB
Ilustrasi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir. [ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Ief/wsj]
Baca 10 detik
  • Aksi Kamisan ke-876 mengenang 21 tahun wafatnya Munir dan menuntut keadilan
  • Kasus Munir simbol kegagalan negara menuntaskan pelanggaran HAM
  • Peserta aksi menolak lupa dan terus menyuarakan perlawanan damai
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Di bawah payung hitam yang menjadi simbol perlawanan dan duka, Aksi Kamisan kembali digelar untuk ke-876 kalinya di depan Istana Negara, Jakarta.

Kali ini, aksi yang rutin diadakan setiap Kamis ini memiliki makna yang lebih mendalam, menandai 21 tahun kepergian aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.

Tepat dua dekade lebih satu tahun setelah Munir meregang nyawa dalam penerbangan menuju Amsterdam, tuntutan akan keadilan atas kematiannya masih menggema kuat, tanpa henti.

Massa aksi, yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, aktivis HAM, mahasiswa, dan keluarga korban pelanggaran HAM, mulai berkumpul sejak pukul 15:00 WIB.

Mereka membawa poster-poster bertuliskan tuntutan keadilan, potret Munir, serta spanduk-spanduk yang menyerukan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Warna hitam mendominasi pakaian para peserta, mencerminkan suasana duka namun juga keteguhan.

Aksi dimulai dengan orasi-orasi dari para aktivis dan perwakilan keluarga korban.

Salah satu anggota keluarga dari Munir mengatakan bahwa di negara Indonesia tidak ada yang bisa bertanggung jawab atas kejadian yang sudah terjadi.

“Apakah ada, di rezim kita, yang bertanggung jawab, dan mengaku salah?” ucapnya.

Baca Juga: Aksi Kamisan di Istana Negara Pasca-Demo Besar

Mereka secara bergantian mengingatkan kembali akan sosok Munir yang dikenal sebagai pejuang HAM tak kenal takut, serta betapa pentingnya penuntasan kasus pembunuhannya sebagai simbol komitmen negara terhadap keadilan dan penghormatan HAM.

Seperti yang diucapkan oleh perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahwa ia sangat setuju dengan yang diucapkan oleh Munir.

Menurut Munir kala itu, mereka yang berkuasa tetapi bersembunyi di balik ketek kekuasaan, dan tidak berani untuk ikut bersama masyarakat Indonesia.

“Yang dikatakan Munir benar, mereka bersembunyi di balik ketek kekuasaan dan tidak berani untuk membersamai kita har ini,” ucapnya dengan lantang.

Ia juga mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat atas kasus-kasus pelanggaran HAM malah menjadi bagian dari pemerintah dan mereka mencoreng pergerakan tahun 1997-1998.

“Hari ini mereka menjadi wakil menteri, mereka mencoreng pergerakan tahun 97 dan 98, dan ada yang menjadi komisaris,” ucapnya.

Load More