-
- Indonesia belum menyerahkan SNDC ke UNFCCC jelang COP30, karena masih menyesuaikan dengan arah kebijakan ekonomi nasional.
- Pemerintah menilai dokumen ini strategis, bisa berdampak pada politik perdagangan global.
- SNDC akan menjadi ujian keseimbangan antara komitmen iklim dan kepentingan pembangunan.
Suara.com - Indonesia belum menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC), peta jalan baru komitmen iklim nasional, kepada Sekretariat UNFCCC, meski batas waktu menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil tinggal hitungan minggu.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq memastikan SNDC akan diserahkan sebelum pertemuan COP30 pada November mendatang.
“Second NDC sebenarnya sudah selesai dalam diskusi dengan para kementerian. Hari ini sedang diakselerasi dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi Bapak Presiden dan kita semua sudah mengupayakan, InsyaAllah sebelum COP ini sudah di-submit,” ujarnya, seperti dikutip dari ANTARA.
Hanif menyebut keterlambatan ini bukan semata teknis, melainkan karena pemerintah menimbang dampak politik dan ekonomi dari dokumen tersebut.
“Komitmen ini bisa dikapitalisasi pihak lain untuk kemudian dikontraproduktifkan dalam politik perdagangan. Jadi memang Bapak Presiden sangat hati-hati untuk itu,” katanya.
Pernyataan itu mengindikasikan bahwa dokumen SNDC tak hanya soal target pengurangan emisi, tapi juga posisi tawar Indonesia di tengah ekonomi global yang makin sensitif terhadap isu karbon.
Target yang lebih ambisius bisa membuka peluang investasi hijau, tapi juga risiko hambatan dagang jika dianggap tidak realistis atau tak sejalan dengan kepentingan ekonomi domestik.
Sejauh ini, Indonesia masih mengacu pada Enhanced NDC, dengan target penurunan emisi 31,89 persen menggunakan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional.
Namun dalam SNDC yang akan datang, pemerintah berencana menyesuaikan komitmen tersebut dengan target pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca Juga: Cemari Sungai, Villa dan Hotel di Puncak Disegel
Langkah hati-hati pemerintah menegaskan dilema lama: bagaimana menyeimbangkan komitmen iklim dengan ambisi pembangunan. COP30 akan menjadi ujian apakah Indonesia mampu menjaga kredibilitasnya di panggung global, atau kembali terseret pada kompromi antara kepentingan hijau dan ekonomi jangka pendek.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
KPK Periksa Lagi Bos Maktour Usai Penyidik Pulang dari Arab, Jadi Kunci Skandal Kuota Haji
-
Buntut Kayu Gelondongan di Banjir Sumatra, Puan Bicara Peluang Revisi UU Kehutanan
-
Arogansi Opang Stasiun Duri: Viral Pukuli Ojol, 2 Pelaku Diciduk Meski Korban Hilang
-
Tri Tito Lantik Anggieta Bestari Tabo sebagai Ketua TP PKK dan Tim Pembina Posyandu Papua Pegunungan
-
Bikin Korban Malu, Pria Ini Ditangkap Usai Jual Tiket BLACKPINK Palsu Seharga Rp5 Juta
-
Berkas Korupsi RSUD Rampung, Bupati Koltim Abdul Azis Cs Segera Diadili
-
Kisruh PBNU, Kader Muda Serukan Patuhi AD/ART dan Hormati Ikhtiar Islah Kiai Sepuh
-
Akhir Perjuangan Ibu Ronald Tannur, Dijebloskan ke Lapas Pondok Bambu Buntut Suap Hakim
-
Prananda Prabowo di Bali, Buka Liga Kampung Soekarno Cup II dengan Doa untuk Korban Bencana
-
Di Balik Senyum di Posko Pengungsian, Perempuan Sumatra Menanggung Beban Sunyi yang Berat