News / Nasional
Minggu, 19 Oktober 2025 | 21:15 WIB
Presiden Prabowo Subianto saat meninjau lokasi dapur umum, tempat produksi Makan Bergizi Gratis (MBG). (Foto: Tim Media Presiden Prabowo)
Baca 10 detik
  • Ray menyebut program MBG adalah contoh nyata kebijakan yang terlalu tersentralisasi di pemerintah pusat.
  • Menurutnya fenomena ini merupakan kelanjutan dari model pemerintahan yang dibangun sejak era Presiden Joko Widodo.
  • Ray menegaskan, kebijakan MBG memang terlihat populis, namun dijalankan tanpa perencanaan matang.

Suara.com - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming setahun ini.

Menurutnya, MBG terlalu dipaksakan dan kurang melibatkan pemerintah daerah.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk “1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Indonesia Emas atau Cemas?” di Jakarta, Minggu (19/10/2025).

Ray menyebut program MBG adalah contoh nyata kebijakan yang terlalu tersentralisasi di pemerintah pusat.

“Proyek MBG misalnya bagian yang bisa disebut sebagai satu program yang terlalu dipaksakan untuk dikerjakan oleh semua pemerintah daerah tanpa mereka dilibatkan secara subtantif dan prosedural,” kata Ray.

Menurut Ray, pola sentralisasi kebijakan itu tidak hanya terjadi pada program MBG, tetapi juga pada banyak keputusan pemerintah yang sebelumnya menjadi kewenangan daerah.

Ia menilai fenomena ini merupakan kelanjutan dari model pemerintahan yang dibangun sejak era Presiden Joko Widodo.

“Tentu pemusatan kekuasaan ini dapat dilihat jejaknya sejak dari era pemerintahan Pak Jokowi. Yang membuat undang-undang omnibus law, tentang Ketenagakerjaan, dimana banyak izin-izin yang selama ini berada di tangan pemerintahan daerah, sekarang kewenangannya diambil oleh pemerintah pusat,” ujarnya.

Ray menegaskan, kebijakan MBG memang terlihat populis, namun dijalankan tanpa perencanaan matang dan tidak membuka ruang partisipasi bagi pemerintah daerah.

Baca Juga: Setahun Pemerintahan Prabowo, Pengamat Kasih Nilai Enam

Akibatnya, daerah hanya menanggung kewajiban tanpa memiliki peran berarti dalam proses perencanaan maupun evaluasi.

“Mereka hanya dibebani kewajiban, harus sukses, tapi apakah suara mereka didengar, apakah suara mereka dilibatkan, apakah pendapat mereka disaring untuk mengerjakan MBG ini kayak apa itu, sepanjang yang saya tahu tidak terdengar oleh kita,” kata Ray.

Lebih jauh, Ray mengaitkan pola sentralisasi ini dengan menurunnya kualitas demokrasi di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Menurutnya, kebijakan yang bersifat top-down seperti MBG mencerminkan kecenderungan pemerintah untuk mengendalikan agenda politik dan ekonomi dari pusat, tanpa memberi ruang bagi inisiatif lokal.

Presiden Prabowo Subianto saat rapat dengan menteri. (foto: Instagram @sekretariat.kabinet)

Ia juga menyoroti kebijakan pemotongan dana transfer daerah yang dinilai memperlemah kemampuan daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.

“Transfer daerah itu dipotong tidak berdasarkan kesepakatan. Jadi hanya data keputusan pusat, pokoknya kalian ada 30 persen, ada yang 20 persen dana transfernya dipotong. Dan daerah dipersilahkan nanggung sendiri efek dari pemotongan transfer daerah itu,” ujarnya.

Load More