- Julius menulai tafsir atas putusan MK itu keliru dan tidak sesuai dengan substansi putusan
-
Menurutnya, jika putusan dibaca lengkap beserta permohonan dan risalah persidangannya, maka jelas bahwa MK tidak mengatur larangan absolut bagi polisi aktif
- Julius menjelaskan frasa yang diuji MK terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”
Suara.com - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyoroti polemik terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXII/2025 yang ramai disebut melarang total anggota Polri menduduki jabatan di luar institusinya. Ia menilai tafsir itu keliru dan tidak sesuai dengan substansi putusan.
Menurut Julius, pemberitaan yang menyebut seluruh polisi aktif harus ditarik mundur dari jabatan sipil tidak menggambarkan isi putusan secara utuh. Narasi tersebut, kata dia, justru memicu kesalahpahaman di tengah masyarakat.
“Tersiar luas pemberitaan bahwa anggota Polri tidak lagi dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian yang artinya semua anggota Polri yang tidak bertugas di Polri itu harus ditarik mundur atau harus mengundurkan diri sebagai anggota dari kepolisian,” kepada wartawan di Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Menurutnya, jika putusan dibaca lengkap beserta permohonan dan risalah persidangannya, maka jelas bahwa MK tidak mengatur larangan absolut bagi polisi aktif. Kesimpulan penempatan anggota Polri di jabatan sipil harus disetop seluruhnya dinilai tidak berdasar.
“Kalau kita membaca putusan, kemudian permohonan dan risalah persidangan secara mendetail, ternyata maknanya tidak demikian,” ujarnya.
Julius menjelaskan frasa yang diuji MK terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”. Bagian tersebut dinyatakan inkonstitusional karena menimbulkan multitafsir.
Menurut hakim, kata “atau” dalam frasa itu bersifat disjungtif sehingga memberi ruang penafsiran yang terlalu longgar. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu potensi konflik kepentingan antara tugas kepolisian dan jabatan di luar institusi.
“Dengan kondisi demikian, maka dianggap dapat mengganggu netralitas dan independensi anggota Polri sehingga berpotensi terjadi konflik kepentingan antara tugas utama dan juga tugas di luar Polri dan juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan,” jelasnya.
MK menilai frasa tersebut membuka pilihan tanpa batas, apakah polisi harus mundur atau tidak, bahkan ketika penugasannya berasal dari Kapolri. Ketidakjelasan norma ini dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum.
Baca Juga: Usai Ada Putusan MK, Prabowo Diminta Segera Tarik Polisi Aktif dari Jabatan Sipil
“Poin kunci putusan itu adalah bahwa norma ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ itu dianggap justru mengaburkan atau tidak memperjelas norma pada Pasal 28 ayat 3 sehingga menimbulkan multitafsir,” kata Julius.
Ia pun memaparkan pendapat para hakim MK. Dalam concurring opinion, Hakim Arsul Sani menilai paradigma Polri sebagai alat negara memungkinkan anggota Polri menduduki jabatan di luar institusi sepanjang sesuai peraturan, sebagaimana halnya TNI.
Namun, Arsul menyatakan frasa yang dibatalkan MK itu justru memperluas tafsir hingga menimbulkan ketidakpastian mengenai batas jabatan yang terkait dengan tugas kepolisian.
Sementara dissenting opinion disampaikan Hakim Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah. Mereka berpendapat bahwa norma dalam pasal dan penjelasan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
“Mereka mengatakan bahwa dia menduduki jabatan di luar institusi kepolisian harus mengundurkan diri apabila dia tidak ada sangkut pautnya sama sekali atau tidak dengan penugasan Kapolri,” terang Julius.
Dua hakim tersebut menilai, selama jabatan yang diemban masih berkaitan dengan tugas Polri dan merupakan penugasan Kapolri, maka hal itu tetap diperbolehkan.
Berita Terkait
-
Guru Besar UEU Kupas Tuntas Putusan MK 114/2025: Tidak Ada Larangan Polisi Menjabat di Luar Polri
-
Usai Ada Putusan MK, Prabowo Diminta Segera Tarik Polisi Aktif dari Jabatan Sipil
-
Gegara Rokok, Bripda TT Tega Aniaya 2 Siswa SPN Hingga Viral, Kapolda NTT Tak Tinggal Diam
-
MK Dinilai Gagal Paham Konstitusi? Larangan Jabatan Sipil Seharusnya untuk TNI, Bukan Polri
-
TB Hasanuddin: Larangan Polisi Duduki Jabatan Sipil Sudah Jelas, Tapi Pemerintah Tak Pernah Jalankan
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman New Balance untuk Jalan Kaki Jauh
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
Buntut Ledakan SMAN 72, DPR Minta Regulasi Platform Digital Diperkuat: Jangan Cuma Game Online
-
Berakhir di Tangan Massa, Komplotan Copet Bonyok Dihajar Warga di Halte TransJakarta Buaran
-
IUP Raja Ampat Terbit Sebelum Bahlil Lahir, Pakar: Pencabutan 4 Izin Langkah Tepat
-
Karnaval SCTV di Jember: Pesta Hiburan yang Ikut Menghidupkan Ekonomi Lokal
-
Tak Mau Renovasi! Ahmad Sahroni Pilih Robohkan Rumah Usai Dijarah Massa, Kenapa?
-
Borobudur Marathon 2025 Diikuti Peserta dari 38 Negara, Perputaran Ekonomi Diprediksi Di Atas Rp73 M
-
Langsung Ditangkap Polisi! Ini Tampang Pelaku yang Diduga Siksa dan Jadikan Pacar Komplotan Kriminal
-
Transfer Pusat Dipangkas, Pemkab Jember Andalkan PAD Untuk Kemandirian Fiskal
-
Pelaku Bom SMAN 72 Jakarta Dipindah Kamar, Polisi Segera Periksa Begitu Kondisi Pulih
-
Robohkan Rumah yang Dijarah hingga Rata Dengan Tanah, Ahmad Sahroni Sempat Ungkap Alasannya