News / Nasional
Senin, 01 Desember 2025 | 19:33 WIB
Ilustras perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting. (Suara.com/Rochmat)
Baca 10 detik
  • Pedagang menolak larangan total impor pakaian bekas karena menganggap usaha mereka bagian dari UMKM yang menggerakkan ekonomi rakyat kecil.
  • Pemerintah tetap tidak akan melegalkan impor baju bekas meski pedagang bersedia membayar pajak.
  • Pedagang mengeluhkan kenaikan harga modal dan risiko usaha, serta adanya dugaan setoran kepada oknum petugas agar barang lolos.

Suara.com - Polemik perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting sempat memanas usai perwakilan pedagang menemui anggota DPR RI. Saat itu, mereka menyuarakan keberatan atas wacana pelarangan total penjualan pakaian bekas dari luar negeri.

Para pedagang menegaskan bahwa usaha thrifting yang mereka geluti adalah bagian dari UMKM yang nyata-nyata menggerakkan roda ekonomi rakyat kecil.

Namun, pemerintah punya pandangan berbeda. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak ada rencana melegalkan impor pakaian bekas, meskipun para pedagang bersedia membayar pajak atau bea masuk.

Bagi pemerintah, ini bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan menyangkut kesehatan, keamanan, dan tata kelola perdagangan internasional.

Hiruk Pikuk di Pasar Senen

“Ayo dipilih, dipilih aja,” teriak para pedagang bersahutan di lorong lantai 2 PD Pasar Jaya Senen, Jakarta Pusat.

Di balik teriakan semangat itu, tersimpan kecemasan. Pasar yang menjadi surga pemburu baju branded murah ini tak pernah sepi. Konsumen sibuk memilah tumpukan pakaian, mulai dari kemeja, celana, kaos, hingga pakaian dalam.

Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp20 ribu hingga Rp50 ribu untuk tumpukan biasa. Sementara untuk pakaian yang digantung—biasanya kualitas premium—harganya dipatok lebih tinggi.

Salah satu pedagang, Yogi (19), mengaku baru beberapa bulan berjualan di sana. Ia menjajakan pakaian wanita seperti blouse, kaos, dan rok. Yogi mewarisi lapak ini setelah sang ayah meninggal dunia.

Baca Juga: Impor Teksil Ilegal Lebih Berbahaya dari Thrifting

“Kalau pakaian beli pas udah di dalam negeri. Jadi gak langsung dari luar,” kata Yogi kepada Suara.com, Senin (1/12/2025).

Infografik perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting yang dilarang pemerintah. (Suara.com/Rochmat)

Modal Membengkak, Laba Menipis

Di tengah ketidakpastian regulasi, Yogi mengeluhkan sulitnya mendapatkan pasokan barang. Tak hanya langka, harganya pun merangkak naik. Kenaikan harga modal ini memaksanya merogoh kocek lebih dalam.

“Naik sampai Rp1 juta untuk satu bal,” ungkapnya.

Konsekuensinya, harga jual ke konsumen pun harus dinaikkan demi menutup modal. Yogi pun menolak keras wacana pelarangan impor baju bekas. Baginya, aturan itu sama saja membunuh usaha masyarakat kecil secara perlahan.

Senada dengan Yogi, Jefri, pedagang yang lebih senior, menolak tegas larangan tersebut. Sudah tujuh tahun Jefri menggantungkan hidup dari dunia thrifting. Baginya, menutup bisnis ini berarti mematikan ekonomi rakyat.

“Orang tua juga bisnis ini (thrifting) saat masih di Medan,” kenang Jefri, menceritakan bahwa bisnis ini sudah menghidupi keluarganya sejak belasan tahun lalu.

Ibarat 'Membeli Kucing dalam Karung'

Ketakutan terbesar Jefri bukan hanya soal razia, tapi juga risiko memulai usaha baru dari nol. Ia mengaku sudah paham seluk-beluk pemasok terpercaya di bisnis ini.

“Kalau usaha baru lagi, belum tentu usahanya jalan. Bisa jadi malah rugi atau gak jalan karena gak tau selahnya,” tutur Jefri.

Tantangan berdagang pakaian bekas pun kian berat. Dalam lima tahun terakhir, harga per bal (karung padat) melonjak signifikan.

Parahnya, pedagang tidak bisa melihat isi barang sebelum membeli karena terikat kawat segel dari luar negeri.

“Ibaratnya kita beli kucing dalam karung, karena emang gak bisa milih,” jelasnya.

Untuk satu bal seharga Rp6-7 juta yang berisi sekitar 150 jaket, Jefri menyebut hanya sekitar 30-40 potong yang memiliki nilai jual tinggi. Sisanya adalah barang "zonk"—berbahan tipis atau merek tak dikenal—yang sulit dijual.

“Kalau dapet kaya gitu dijual Rp50 ribu aja sulit,” keluhnya.

Polemik perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting kembali memanas. (Suara.com/Rochmat)

Bukan Pesaing Produk Lokal

Jefri juga menepis anggapan bahwa thrifting mematikan produk lokal. Menurutnya, pasar keduanya berbeda. Justru, banyak jenama lokal yang terinspirasi dari desain-desain unik pakaian thrift yang beredar.

“Jadi hype di luar, masuk ke Indonesia lewat thrifting kemudian dicontoh sama brand lokal,” ujarnya.

Menurut Jefri, musuh sebenarnya bagi produk lokal maupun thrift adalah gempuran produk impor murah dari China, yang mayoritas adalah barang imitasi (KW).

“Misal, produksi di sini Rp100 ribu, tapi kalo impor KW itu Rp60 ribu sudah sama ongkor dan siap untuk dipajang,” tegasnya.

Bakar Baju Bukan Solusi Bijak

Menanggapi polemik ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menyarankan pemerintah tidak gegabah.

Melarang total secara tiba-tiba tanpa solusi dinilai tidak manusiawi.

"Artinya diberi kesempatan dia untuk tetap berjalan," kata dia.

Trubus menyoroti aksi pemusnahan atau pembakaran baju bekas hasil sitaan yang kerap dilakukan aparat.

Menurutnya, tindakan itu tidak bijak mengingat pedagang sudah mengeluarkan modal besar.

“Mereka kan ya untungnya berapa, untungnya untuk makan doang atau untuk menghidupi keluarganya,” kata dia.

Subdit I Indag Ditreskrimsus Polda Metro Jaya membongkar jaringan perdagangan pakaian bekas impor ilegal. Sebanyak 207 ballpress yang hendak dikirim ke Jakarta berhasil disita sebagai barang bukti. (Foto dok. Polisi)

Isu "Setoran" ke Oknum Bea Cukai

Lebih jauh, Trubus menyoroti pengakuan mengejutkan pedagang saat pertemuan dengan DPR RI.

Pedagang mengaku harus mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah agar barang dagangan mereka lolos dari penyitaan petugas.

Hal ini, menurut Trubus, harus diinvestigasi serius oleh pemerintah karena mengindikasikan adanya permainan oknum di pintu masuk impor.

“Ketika lapor di DPR itu kan mengatakan mengeluarkan uang sampai Rp550 juta. Karena artinya setengah miliar untuk dapat barang-barang itu juga kan. Dan itu selalu distorkan kepada oknum-oknum,” pungkasnya.

Load More