- Pedagang menolak larangan total impor pakaian bekas karena menganggap usaha mereka bagian dari UMKM yang menggerakkan ekonomi rakyat kecil.
- Pemerintah tetap tidak akan melegalkan impor baju bekas meski pedagang bersedia membayar pajak.
- Pedagang mengeluhkan kenaikan harga modal dan risiko usaha, serta adanya dugaan setoran kepada oknum petugas agar barang lolos.
Suara.com - Polemik perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting sempat memanas usai perwakilan pedagang menemui anggota DPR RI. Saat itu, mereka menyuarakan keberatan atas wacana pelarangan total penjualan pakaian bekas dari luar negeri.
Para pedagang menegaskan bahwa usaha thrifting yang mereka geluti adalah bagian dari UMKM yang nyata-nyata menggerakkan roda ekonomi rakyat kecil.
Namun, pemerintah punya pandangan berbeda. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak ada rencana melegalkan impor pakaian bekas, meskipun para pedagang bersedia membayar pajak atau bea masuk.
Bagi pemerintah, ini bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan menyangkut kesehatan, keamanan, dan tata kelola perdagangan internasional.
Hiruk Pikuk di Pasar Senen
“Ayo dipilih, dipilih aja,” teriak para pedagang bersahutan di lorong lantai 2 PD Pasar Jaya Senen, Jakarta Pusat.
Di balik teriakan semangat itu, tersimpan kecemasan. Pasar yang menjadi surga pemburu baju branded murah ini tak pernah sepi. Konsumen sibuk memilah tumpukan pakaian, mulai dari kemeja, celana, kaos, hingga pakaian dalam.
Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp20 ribu hingga Rp50 ribu untuk tumpukan biasa. Sementara untuk pakaian yang digantung—biasanya kualitas premium—harganya dipatok lebih tinggi.
Salah satu pedagang, Yogi (19), mengaku baru beberapa bulan berjualan di sana. Ia menjajakan pakaian wanita seperti blouse, kaos, dan rok. Yogi mewarisi lapak ini setelah sang ayah meninggal dunia.
Baca Juga: Impor Teksil Ilegal Lebih Berbahaya dari Thrifting
“Kalau pakaian beli pas udah di dalam negeri. Jadi gak langsung dari luar,” kata Yogi kepada Suara.com, Senin (1/12/2025).
Modal Membengkak, Laba Menipis
Di tengah ketidakpastian regulasi, Yogi mengeluhkan sulitnya mendapatkan pasokan barang. Tak hanya langka, harganya pun merangkak naik. Kenaikan harga modal ini memaksanya merogoh kocek lebih dalam.
“Naik sampai Rp1 juta untuk satu bal,” ungkapnya.
Konsekuensinya, harga jual ke konsumen pun harus dinaikkan demi menutup modal. Yogi pun menolak keras wacana pelarangan impor baju bekas. Baginya, aturan itu sama saja membunuh usaha masyarakat kecil secara perlahan.
Senada dengan Yogi, Jefri, pedagang yang lebih senior, menolak tegas larangan tersebut. Sudah tujuh tahun Jefri menggantungkan hidup dari dunia thrifting. Baginya, menutup bisnis ini berarti mematikan ekonomi rakyat.
“Orang tua juga bisnis ini (thrifting) saat masih di Medan,” kenang Jefri, menceritakan bahwa bisnis ini sudah menghidupi keluarganya sejak belasan tahun lalu.
Ibarat 'Membeli Kucing dalam Karung'
Ketakutan terbesar Jefri bukan hanya soal razia, tapi juga risiko memulai usaha baru dari nol. Ia mengaku sudah paham seluk-beluk pemasok terpercaya di bisnis ini.
“Kalau usaha baru lagi, belum tentu usahanya jalan. Bisa jadi malah rugi atau gak jalan karena gak tau selahnya,” tutur Jefri.
Tantangan berdagang pakaian bekas pun kian berat. Dalam lima tahun terakhir, harga per bal (karung padat) melonjak signifikan.
Parahnya, pedagang tidak bisa melihat isi barang sebelum membeli karena terikat kawat segel dari luar negeri.
“Ibaratnya kita beli kucing dalam karung, karena emang gak bisa milih,” jelasnya.
Untuk satu bal seharga Rp6-7 juta yang berisi sekitar 150 jaket, Jefri menyebut hanya sekitar 30-40 potong yang memiliki nilai jual tinggi. Sisanya adalah barang "zonk"—berbahan tipis atau merek tak dikenal—yang sulit dijual.
“Kalau dapet kaya gitu dijual Rp50 ribu aja sulit,” keluhnya.
Bukan Pesaing Produk Lokal
Jefri juga menepis anggapan bahwa thrifting mematikan produk lokal. Menurutnya, pasar keduanya berbeda. Justru, banyak jenama lokal yang terinspirasi dari desain-desain unik pakaian thrift yang beredar.
“Jadi hype di luar, masuk ke Indonesia lewat thrifting kemudian dicontoh sama brand lokal,” ujarnya.
Menurut Jefri, musuh sebenarnya bagi produk lokal maupun thrift adalah gempuran produk impor murah dari China, yang mayoritas adalah barang imitasi (KW).
“Misal, produksi di sini Rp100 ribu, tapi kalo impor KW itu Rp60 ribu sudah sama ongkor dan siap untuk dipajang,” tegasnya.
Bakar Baju Bukan Solusi Bijak
Menanggapi polemik ini, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menyarankan pemerintah tidak gegabah.
Melarang total secara tiba-tiba tanpa solusi dinilai tidak manusiawi.
"Artinya diberi kesempatan dia untuk tetap berjalan," kata dia.
Trubus menyoroti aksi pemusnahan atau pembakaran baju bekas hasil sitaan yang kerap dilakukan aparat.
Menurutnya, tindakan itu tidak bijak mengingat pedagang sudah mengeluarkan modal besar.
“Mereka kan ya untungnya berapa, untungnya untuk makan doang atau untuk menghidupi keluarganya,” kata dia.
Isu "Setoran" ke Oknum Bea Cukai
Lebih jauh, Trubus menyoroti pengakuan mengejutkan pedagang saat pertemuan dengan DPR RI.
Pedagang mengaku harus mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah agar barang dagangan mereka lolos dari penyitaan petugas.
Hal ini, menurut Trubus, harus diinvestigasi serius oleh pemerintah karena mengindikasikan adanya permainan oknum di pintu masuk impor.
“Ketika lapor di DPR itu kan mengatakan mengeluarkan uang sampai Rp550 juta. Karena artinya setengah miliar untuk dapat barang-barang itu juga kan. Dan itu selalu distorkan kepada oknum-oknum,” pungkasnya.
Berita Terkait
-
Pedagang UMKM Pasar Senen ke Menteri Maman: Thrifting jangan dihapus, Pak!
-
Menkeu Tegas Melarang, Menteri UMKM Janji Cari Solusi untuk Bisnis Thrifting
-
Purbaya Tegas soal Barang Ilegal, Tepis Tawaran Pajak dari Pedagang Thrifting
-
Indef: Pedagang Thrifting Informal, Lebih Bahaya Kalau Industri Tekstil yang Formal Hancur
-
Impor Teksil Ilegal Lebih Berbahaya dari Thrifting
Terpopuler
- 6 HP 5G Paling Murah di Bawah Rp 4 Juta, Investasi Terbaik untuk Gaming dan Streaming
- Bercak Darah di Pohon Jadi Saksi Bisu, Ini Kronologi Aktor Gary Iskak Tewas dalam Kecelakaan Maut
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 29 November: Ada Rivaldo, Ribuan Gems, dan Kartu 110-115
- 5 Shio Paling Beruntung Hari Ini Minggu 30 November 2025, Banjir Hoki di Akhir Bulan!
- Tewas Menabrak Pohon, Gary Iskak Diduga Tak Pakai Helm Saat Kecelakaan Tunggal
Pilihan
-
604 Orang Meninggal Dunia dalam Bencana Sumatera: Update Terkini
-
Jeritan Ojol di Uji Coba Malioboro: Jalan Kaki Demi Sesuap Nasi, Motor Terancam Hilang
-
OJK Selidiki Dugaan Mirae Asset Sekuritas Lenyapkan Dana Nasabah Rp71 Miliar
-
Pasaman: Dari Kota Suci ke Zona Rawan Bencana, Apa Kita Sudah Diperingatkan Sejak Lama?
-
Jejak Sunyi Menjaga Tradisi: Napas Panjang Para Perajin Blangkon di Godean Sleman
Terkini
-
KPK Jebloskan ASN Kemenhub ke Penjara, Diduga Otak Pengaturan Proyek Kereta Api Medan
-
Awas Macet! Cek Pengalihan Arus Reuni Akbar 212 di Monas Besok, Ini Titik Rawan Kepadatan
-
Babak Baru Skandal Satelit Kemenhan, Laksda Leonardi Cs Segera Diadili
-
Banjir Paksa Ribuan Siswa Libur, Disdik Sumbar Atur Ulang Jadwal Ujian Semester
-
Tragedi Jelambar: Remaja 18 Tahun Tewas dalam Kebakaran Hebat, Asma Renggut Nyawanya
-
604 Orang Meninggal Dunia dalam Bencana Sumatera: Update Terkini
-
Satgas PKH Turun Tangan! Hutan Sumatra Diteliti, Dugaan Kesengajaan di Balik Bencana Banjir
-
Misteri Gelondongan Kayu di Balik Banjir Sumut, Satgas PKH Turun Tangan: Siap Usut Dugaan Pembalakan
-
Bukan Bencana Alam! WALHI Bongkar Dosa Investasi Ekstraktif di Balik Banjir Maut Sumatra
-
Terungkap! Ini Alasan Kejagung Cabut Status Cekal Bos Djarum Victor Hartono di Kasus Pajak