- Pemilu 2029 diprediksi akan didominasi pemilih muda Gen Z dan Milenial, menghadapi tantangan besar dari manipulasi konten AI seperti *deepfake*.
- Ancaman utama adalah penyebaran disinformasi yang *hyper-personalized* melalui *deepfake* dan *voice cloning*, berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap informasi benar.
- Solusinya mencakup regulasi digital, pembentukan Satgas Forensik Digital, serta peningkatan literasi digital aplikatif bagi pemilih muda melalui platform populer.
Suara.com - Beginilah gambaran Pemilu 2029 yang mungkin akan terjadi: Jutaan pemilih muda, sebagian besar adalah Gen Z, membuka media sosial, menonton video kandidat, membaca pesan di grup chat, dan mengira semua itu nyata. Padahal, sebagian konten sudah dimanipulasi menggunakan teknologi AI—deepfake yang tampak persis seperti kenyataan.
Ya, Pemilu 2029 bukan lagi sekadar memilih pemimpin, tapi juga perjuangan demokrasi untuk membedakan fakta dari hoaks, menavigasi informasi yang sangat canggih, dan tetap menjaga kepercayaan para pemilih terhadap demokrasi di era digital.
Gen Z dan Milenial: Pemilih Masa Depan yang Melek Teknologi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan bahwa jumlah pemilih muda yang merupakan Gen Z akan meningkat pada Pemilu 2029. Milenial dan Gen Z disebut sebagai generasi yang paling akrab dengan teknologi, termasuk penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Terlebih, pemilih Milenial bersama Gen Z yang mahir dan masif dalam menggunakan AI diperkirakan jumlahnya akan mencapai 60–70 persen pada Pemilu 2029 mendatang.
Pada Pemilu 2024, Populis merilis survei mengenai pandangan Gen Z dan Milenial terhadap isu pemilu. Hasilnya, Gen Z mempertimbangkan kualitas kepemimpinan, kejelasan kebijakan, kecerdasan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan integritas sebagai karakteristik utama dalam menentukan pilihan.
Isu dan karakteristik dalam pemilu menstimulus cara pandang Gen Z terhadap proses pemilu maupun hasil pascapemilu. Bagi Gen Z, pemilu merupakan jalan tengah (moderasi) sekaligus transformasi menuju masa depan yang lebih baik (modernisasi).
Anggota KPU RI, August Mellaz, sempat menyinggung dampak penggunaan AI yang bisa menghasilkan deepfake, yaitu konten digital berupa video, audio, atau gambar yang dibuat atau dimanipulasi menggunakan teknologi AI. Produk AI-generated sesungguhnya sudah banyak ditemukan di media sosial. Namun, hal ini diprediksi akan menjadi tantangan pada Pemilu 2029 karena potensi manipulasi informasi yang masif.
“Perkembangan dan kecanggihan Artificial Intelligence ke depan akan luar biasa. Kami bersyukur Pemilu dan Pilkada 2024 belum menghadapi hantaman itu,” kata August Mellaz di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/12/2025).
“Perkembangan AI memiliki potensi yang sangat serius untuk mengganggu stabilitas demokrasi elektoral negara-negara,” tambah dia.
Baca Juga: Pengamat UGM Nilai Jokowi Melemah dan Kaesang Tak Mampu, Mimpi PSI Tembus Senayan 2029 Bakal Ambyar?
Deepfake dan Disinformasi: Ancaman Nyata Demokrasi
Penggunaan deepfake yang menimbulkan manipulasi informasi bukan hal yang tidak mungkin. Hal ini sudah terjadi pada Pilpres di Slovakia pada 2024. Berdasarkan laporan European Union, marak terjadi disinformasi dan upaya mendiskreditkan dua kandidat, Ivan Korok dan Peter Pellegrini, dengan menggunakan video deepfake.
Bahkan muncul klaim palsu dari anggota pemerintah yang menyebut bahwa jika Korok menang, ia akan mengirim tentara Slovakia bertempur di Ukraina atau menghapus hak veto Slovakia di Uni Eropa. Padahal, informasi tersebut tidak benar karena presiden Slovakia tidak memiliki kewenangan seperti yang dituduhkan.
Di Indonesia, ancaman serupa diprediksi bisa terjadi. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, menyebut bahwa pada Pemilu 2029, Indonesia akan menghadapi era “Realitas Sintetis”, yaitu ketika hasil AI generatif mampu menghasilkan konten visual dan audio yang semakin sulit dibedakan dari realitas.
Erosi Kepercayaan Publik: Liar's Dividend
Beberapa ancaman yang memungkinkan terjadi antara lain deepfake, voice cloning atau rekaman suara palsu yang menirukan kandidat atau penyelenggara pemilu, serta personalisasi disinformasi. Kampanye hitam tidak lagi bersifat massal, tetapi hyper-personalized, dengan ribuan variasi pesan palsu yang disesuaikan dengan ketakutan atau bias psikologis individu, lalu dikirim melalui media sosial atau jalur privat yang sulit dipantau.
“The Liar's Dividend adalah bahayanya: bukan hanya orang percaya pada berita bohong, tetapi orang menjadi tidak percaya pada berita benar. Deepfake bisa menggerus kepercayaan publik terhadap media kredibel. Politisi yang tertangkap basah melakukan kesalahan bisa berkilah: ‘Itu serangan AI/Deepfake,’” kata Septiaji kepada Suara.com, Kamis (11/12/2025).
Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza, menilai Pemilu 2029 berpotensi menjadi ajang kompetisi narasi yang lebih ditentukan oleh kecanggihan algoritma daripada gagasan politik. Teknologi AI mampu memproduksi konten palsu yang sulit dibedakan oleh masyarakat awam, termasuk pemilih muda, sehingga ruang disinformasi bisa menjalar lebih cepat sementara institusi negara masih lambat memverifikasi informasi.
“Deepfake dan AI bukan sekadar merusak reputasi kandidat, tetapi menggerus kepercayaan publik sehingga kebenaran semua informasi politik diragukan. Politik bisa dianggap hanya soal merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan ancamannya bisa menimbulkan konflik di tingkat akar rumput,” tutur Efriza.
Strategi Preventif: Regulasi dan Satgas Forensik Digital
Menanggapi tantangan tersebut, Septiaji memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang dan KPU, termasuk menambahkan pasal tentang rambu-rambu ruang digital dan pemanfaatan AI dalam revisi undang-undang pemilu.
“Melarang penggunaan AI generatif untuk kampanye 90 hari sebelum pemilu, baik untuk promosi maupun menyerang lawan politik, dengan sanksi bagi parpol maupun kandidat,” ujar Septiaji.
Selain itu, perlu dibentuk Satgas Forensik Digital yang bekerja sama dengan pemeriksa fakta, media, dan akademisi untuk memverifikasi deepfake secara real-time. Satgas ini diharapkan terhubung langsung dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan platform digital.
Efriza menyoroti peran Komdigi dalam upaya preventif manipulasi informasi. Ia menilai perlu dibangun kerangka regulasi yang jelas mengenai standar verifikasi konten digital, kewajiban watermarking untuk konten politik resmi, serta sanksi tegas bagi produksi dan distribusi deepfake.
Secara teknis, perlu kemitraan strategis dengan pengelola platform digital dan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem deteksi otomatis yang bekerja sebelum konten viral. Selain itu, kolaborasi dengan jurnalis bisa membantu publik memahami analisis konten hoaks.
Pendidikan Pemilih Muda dan Literasi Digital
Tidak hanya dari regulasi, pendidikan pemilih pemula menjadi peran penting. Literasi digital harus lebih aplikatif dan sesuai karakter Milenial dan Gen Z yang visual, cepat, dan interaktif. KPU bisa memanfaatkan platform akrab bagi Gen Z, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, dengan konten singkat, jelas, dan berbasis contoh nyata.
Kerja sama dengan satuan pendidikan formal dan komunitas kreator konten juga perlu dilakukan untuk menghasilkan simulasi interaktif tentang bagaimana AI dapat memalsukan suara, gambar, atau video. Gen Z cenderung percaya edukasi dari sesama pengguna atau influencer kredibel, sehingga pendekatan ini dianggap efektif.
Masukan serupa disampaikan Septiaji terkait peran influencer. Namun, influencer juga perlu dilatih untuk menyaring informasi hoaks maupun deepfake.
Terakhir, pendidikan pemilih muda bisa dilengkapi dengan metode probunking atau inokulasi, yaitu program edukasi dan gamifikasi untuk melatih kemampuan berpikir kritis Gen Z terhadap isu-isu pemilu.
Pemilu 2029 bukan sekadar ajang politik, tetapi juga ujian bagi demokrasi digital Indonesia. Dengan persiapan regulasi yang matang, satgas forensik digital, literasi pemilih yang meningkat, serta peran aktif influencer dan komunitas, kita memiliki peluang menjaga kepercayaan publik tetap tinggi.
Tantangan dari deepfake dan AI bisa diubah menjadi momentum untuk membangun demokrasi yang lebih transparan, edukatif, dan partisipatif—di mana setiap suara muda benar-benar terdengar, diverifikasi, dan dihargai. Era digital bukan halangan, melainkan kesempatan untuk mewujudkan pemilu yang cerdas, modern, dan kredibel.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Sepatu Lokal Senyaman On Cloud Ori, Harga Lebih Terjangkau
- 5 Body Lotion Niacinamide untuk Cerahkan Kulit, Harganya Ramah Kantong Ibu Rumah Tangga
- Menguak PT Minas Pagai Lumber, Jejak Keluarga Cendana dan Konsesi Raksasa di Balik Kayu Terdampar
- 5 HP Murah Terbaik 2025 Rekomendasi David GadgetIn: Chip Mumpuni, Kamera Bagus
- 55 Kode Redeem FF Terbaru 9 Desember: Ada Ribuan Diamond, Item Winterlands, dan Woof Bundle
Pilihan
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
-
PT Tusam Hutani Lestari Punya Siapa? Menguasai Lahan Hutan Aceh Sejak Era Soeharto
-
Harga Minyak Melonjak: AS Sita Kapal Tanker di Lepas Pantai Venezuela
Terkini
-
Korban Tewas Bencana di Agam Tembus 192 Orang, 72 Masih Hilang
-
MKMK Tegaskan Arsul Sani Tak Terbukti Palsukan Ijazah Doktoral
-
Polisi Kembali Lakukan Olah TKP Terra Drone, Apa yang Dicari Puslabfor?
-
MyFundAction Gelar Dapur Umum di Tapsel, Prabowo Janji Rehabilitasi Total Dampak Banjir Sumut
-
Ikuti Arahan Kiai Sepuh, PBNU Disebut Bakal Islah Demi Akhiri Konflik Internal
-
Serangan Kilat di Kalibata: Matel Diseret dan Dikeroyok, Pelaku Menghilang dalam Sekejap!
-
10 Saksi Diperiksa, Belum Ada Tersangka dalam Kasus Mobil Berstiker BGN Tabrak Siswa SD Cilincing
-
Pesan Menag Nasaruddin di Hakordia 2025: ASN Kemenag Ibarat Air Putih, Tercemar Sedikit Rusak Semua
-
Bela Laras Faizati, 4 Sosok Ini Ajukan Diri Jadi Amicus Ciriae: Unggahan Empati Bukan Kejahatan!
-
Mendagri Instruksikan Pemda Evaluasi Kelayakan Bangunan Gedung Bertingkat