News / Nasional
Rabu, 24 Desember 2025 | 12:50 WIB
Ilustrasi polisi. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom)
Baca 10 detik
  • Profesor Ryaas Rasyid mengkritik Polri terlalu dimanjakan pemerintahan Jokowi, menimbulkan sinisme publik baru-baru ini.
  • Ekspansi peran Polri ke jabatan sipil dikritik karena tidak berlandaskan sejarah atau kebutuhan mendesak.
  • Reformasi menyeluruh dibutuhkan mencakup kinerja dan kepribadian personel, serta kepatuhan pada putusan MK.

Suara.com - Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Profesor Ryaas Rasyid, melontarkan kritik tajam terkait posisi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam satu dekade terakhir.

Ia menilai, Kepolisian saat ini tengah berada dalam kondisi "terlalu dimanjakan" oleh pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, yang berdampak pada munculnya sinisme di tengah masyarakat.

Ryaas jua membandingkan fenomena masuknya polisi ke jabatan sipil dengan dwi fungsi ABRI di masa lalu.

Menurutnya, keterlibatan tentara di ranah sipil pada era Bung Karno hingga Orde Baru memiliki basis situasi politik dan historis yang kuat demi stabilitas negara.

Sebaliknya, ia menilai ekspansi peran Polri saat ini tidak memiliki landasan historis maupun kebutuhan administrasi yang mendesak.

"Polisi ini kan tidak ada historinya (di jabatan sipil). Tiba-tiba saja kok ada masuk gitu lho. Ngaa ada justifikasi politik maupun administrasinya. Tidak ada kebutuhan mendesak untuk mereka masuk dalam jabatan-jabatan non-polisi," ujar Ryaas Rasyid pada kanal YouTube Forum Keadilan TV, Rabu (23/12/2025).

Ryaas secara spesifik menyebut bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi, Polri seolah mendapatkan perlakuan istimewa.

Namun, ia memperingatkan bahwa hal ini merupakan bagian dari permainan politik yang justru bisa menjebak institusi Polri itu sendiri.

"Sepuluh tahun terakhir ini, seolah-olah polisi itu dimanjakan oleh Jokowi, oleh pemerintahan Jokowi. Ada apa sedikit saja kasih polisi. Polisinya tidak sadar bahwa itu adalah satu permainan politik, mereka terjebak," tegasnya.

Baca Juga: Pilih Fokus Kawal Pemerintahan Prabowo, PKS Belum Tentukan Sikap Soal Pilkada via DPRD

Dampak dari fenomena ini, menurut Ryaas, adalah munculnya pandangan negatif atau bad name terhadap kepolisian.

Ia merasa prihatin karena secara pribadi ia memiliki kedekatan emosional dengan institusi tersebut, baik sebagai anggota keluarga besar Polri maupun sebagai dosen di Sespim Polri.

Menyikapi tuntutan Reformasi Kepolisian, Ryaas menekankan bahwa perubahan yang dibutuhkan tidak boleh hanya menyentuh aspek struktural atau pengisian jabatan sipil semata.

Ia menuntut adanya reformasi menyeluruh yang mencakup kinerja hingga kepribadian setiap personel.

"Seluruh kinerja kepolisian, seluruh kepribadian polisi, harus direformasi, kita memerlukan polisi teladan yang dicintai rakyat, seperti di negara-negara maju di mana kebanggaan mereka adalah polisi, bukan tentara,” kata dia.

Terkait polemik pengisian jabatan sipil oleh personel Polri aktif, Ryaas merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114 sebagai langkah koreksi yang sangat nyata.

Load More