Rabu, 12 November 2025 | 15:27 WIB
Mantan Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Pius Lustrilanang. (Suara.com/dok. Pribadi)
Baca 10 detik
  • Marsinah, buruh perempuan berani, memperjuangkan hak-hak pekerja di tengah represi Orde Baru yang menindas.
  • Pembunuhannya tahun 1993 tak terungkap, proses hukum cacat, dan keadilan terhenti tanpa pelaku dihukum.
  • Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional 2025, namun negara belum menuntaskan kebenaran dan tanggung jawab moralnya.

Hingga kini, Komnas HAM, YLBHI, dan berbagai jaringan advokasi terus menegaskan bahwa pengusutan kasus Marsinah belum menyentuh pelaku utama.

Adik aktivis buruh Marsinah, Wijiyati menangis di balik foto kakaknya usai mengikuti upacara pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan sembilan tokoh lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz]

Impunitas tetap berdiri tegak, dan di situlah akar kekecewaan publik: bukan karena negara tidak tahu, tapi karena negara tidak mau tahu.

Paradoks Kepahlawanan dan Amnesia Negara

Tiga puluh dua tahun kemudian, pada 10 November 2025, pemerintah menobatkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, bersama dengan Soeharto dan Abdurrahman Wahid.

Bagi gerakan buruh, pengakuan ini menjadi kebanggaan: untuk pertama kalinya, seorang buruh perempuan diakui sebagai pahlawan bangsa. Namun bagi banyak orang, keputusan itu menimbulkan paradoks moral.

Negara memang memuliakan Marsinah, tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa gelar itu 'tidak terkait' dengan penyelidikan ulang atas pembunuhannya.

Ia dihormati sebagai simbol, tapi belum diperlakukan sebagai korban yang pantas mendapat keadilan.

Paradoks itu semakin menyentak karena nama Marsinah diumumkan dalam upacara yang sama dengan Soeharto—penguasa yang sistemnya menormalisasi represi terhadap kaum buruh.

Bagi publik yang peka sejarah, kombinasi dua nama ini terasa seperti ironi yang sulit dicerna.

Negara seolah merayakan penindasan dan perlawanan dalam satu panggung yang sama, tanpa pernah menjelaskan apa yang sesungguhnya ingin ditegaskan: penghormatan, atau pelupaan?

Sampai hari ini, tidak ada satu pun pelaku pembunuhan Marsinah yang dihukum tetap. Pengadilan pernah menjatuhkan vonis, lalu Mahkamah Agung membatalkannya.

Ia dihormati sebagai simbol, tapi belum diperlakukan sebagai korban yang pantas mendapat keadilan.

Setelah itu, sunyi. Tidak ada pelaku baru, tidak ada rekonstruksi kasus, tidak ada permintaan maaf resmi. Keadilan berhenti di tengah jalan.

Hanya namanya yang kini hidup di monumen dan upacara kenegaraan, sementara kebenarannya dibiarkan membeku.

Marsinah bukan sekadar nama dalam daftar pahlawan. Ia adalah cermin relasi kuasa antara negara, pasar, dan rakyat pekerja di masa ketika kebebasan berserikat adalah kemewahan.

Load More