Suara.com - Komisi IV DPR RI mengklaim telah menerima banyak pengaduan dari sejumlah daerah terkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dinilai lebih menyengsarakan penghidupan yang diterima nelayan.
"Kami ke mana-mana menemukan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1 dan No 2 tahun 2015 selalu menjadi masalah," kata Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron dalam rapat kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri KP No 1/2015 adalah terkait pembatasan penangkapan lobster dan rajungan, sedangkan Peraturan Menteri KP No 2/2015 terkait larangan penggunaan alat tangkap trawl (pukat hela) dan seine nets (pukat tarik) Menurut Herman Khaeron, pengaduan dari masyarakat terutama nelayan dan pelaku usaha perikanan diperoleh serupa di berbagai daerah di Tanah Air.
Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya aturan-aturan itu ditelaah kembali untuk menemukan mengapa selalu menjadi masalah, misalnya apakah karena konsepnya tidak dijalankan dengan baik oleh jajaran KKP, atau karena anggarannya tidak memadai, atau karena program-program itu tidak efektif.
Sebagaimana diwartakan, pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan yang melarang penggunaan trawl atau cantrang dinilai tidak berpengaruh pada nelayan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
"Nelayan di Provinsi Sulut tidak terpengaruh dengan pemberlakuan Ibu Menteri KKP soal larangan penggunaan trawl atau cantrang karena tidak menggunakan alat tersebut," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulut Ronald Sorongan di Manado, Selasa (12/4/2016).
Dia mengatakan di Sulut hampir tidak ada nelayan yang menggunakan trawl atau cantrang, sehingga tidak memberikan dampak atas larangan tersebut.
Sebelumnya, puluhan kapal pukat harimau atau "trawl" yang masih beroperasi di sekitar perairan Belawan, Provinsi Sumatera Utara, meresahkan nelayan tradisional di daerah itu.
"Permasalahan pukat harimau yang dilarang pemerintah beroperasi dan belum juga bisa dituntaskan aparat keamanan di laut," kata Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut, Fendi Pohan di Medan, Senin (11/4/2016). Dia menjelaskan, beroperasinya kapal pukat harimau itu, bukan hanya merugikan hasil tangkapan nelayan di daerah itu, tetapi juga merusak populasi biota laut dan terumbu karang di sekitar perairan Belawan.
Sementara nelayan tradisional Aceh Selatan mendukung penuh keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang menangkap ikan di laut dengan mengggunakan pukat trawl atau cangkrang, karena merugikan mereka.
Panglima Laot (lembaga adat laut) Kabupaten Aceh Selatan, Tgk M Jamil kepada wartawan di Tapaktuan, Selasa (12/4) menyatakan penggunaan pukat trawl hanya menguntungkan boat-boat besar milik oknum pengusaha tertentu yang mempunyai modal besar.
"Sebenarnya, larangan penggunaan pukat trawl tersebut sudah lama diberlakukan di Provinsi Aceh dimana larangan itu mendapa Komisi IV DPR RI mengklaim telah menerima banyak pengaduan dari sejumlah daerah terkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dinilai lebih menyengsarakan penghidupan yang diterima nelayan.
"Kami ke mana-mana menemukan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1 dan No 2 tahun 2015 selalu menjadi masalah," kata Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron dalam rapat kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri KP No 1/2015 adalah terkait pembatasan penangkapan lobster dan rajungan, sedangkan Peraturan Menteri KP No 2/2015 terkait larangan penggunaan alat tangkap trawl (pukat hela) dan seine nets (pukat tarik) Menurut Herman Khaeron, pengaduan dari masyarakat terutama nelayan dan pelaku usaha perikanan diperoleh serupa di berbagai daerah di Tanah Air.
Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya aturan-aturan itu ditelaah kembali untuk menemukan mengapa selalu menjadi masalah, misalnya apakah karena konsepnya tidak dijalankan dengan baik oleh jajaran KKP, atau karena anggarannya tidak memadai, atau karena program-program itu tidak efektif.
Sebagaimana diwartakan, pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan yang melarang penggunaan trawl atau cantrang dinilai tidak berpengaruh pada nelayan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
"Nelayan di Provinsi Sulut tidak terpengaruh dengan pemberlakuan Ibu Menteri KKP soal larangan penggunaan trawl atau cantrang karena tidak menggunakan alat tersebut," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulut Ronald Sorongan di Manado, Selasa (12/4/2016).
Dia mengatakan di Sulut hampir tidak ada nelayan yang menggunakan trawl atau cantrang, sehingga tidak memberikan dampak atas larangan tersebut.
Sebelumnya, puluhan kapal pukat harimau atau "trawl" yang masih beroperasi di sekitar perairan Belawan, Provinsi Sumatera Utara, meresahkan nelayan tradisional di daerah itu.
"Permasalahan pukat harimau yang dilarang pemerintah beroperasi dan belum juga bisa dituntaskan aparat keamanan di laut," kata Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut, Fendi Pohan di Medan, Senin (11/4/2016). Dia menjelaskan, beroperasinya kapal pukat harimau itu, bukan hanya merugikan hasil tangkapan nelayan di daerah itu, tetapi juga merusak populasi biota laut dan terumbu karang di sekitar perairan Belawan.
Sementara nelayan tradisional Aceh Selatan mendukung penuh keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang menangkap ikan di laut dengan mengggunakan pukat trawl atau cangkrang, karena merugikan mereka.
Panglima Laot (lembaga adat laut) Kabupaten Aceh Selatan, Tgk M Jamil kepada wartawan di Tapaktuan, Selasa (12/4/2016) menyatakan penggunaan pukat trawl hanya menguntungkan boat-boat besar milik oknum pengusaha tertentu yang mempunyai modal besar.
"Sebenarnya, larangan penggunaan pukat trawl tersebut sudah lama diberlakukan di Provinsi Aceh dimana larangan itu mendapat sambutan positif dari para nelayan Aceh, buktinya sejak beberapa tahun terakhir tidak ditemukan lagi nelayan Aceh yang menggunakan pukat raksasa itu," katanya. (Antara)
Berita Terkait
-
Protes Tanggul Viral, KTP Nelayan Cilincing Bakal Dicek, Wamen KKP: Mana Pendatang, Mana Warga Asli
-
DPR Panggil KKP Senin Depan Terkait Tanggul Beton yang Rugikan Nelayan Cilincing
-
Tanggul Beton di Cilincing Dikeluhkan Nelayan, Komisi IV DPR Agendakan Panggil KKP Senin Depan
-
Anggota DPR Minta KAI Sediakan Gerbong Khusus Merokok: Di Bus Saja Ada Tempatnya
-
Atasi Beras Oplosan Harus Lewat Penegakan Hukum dan Revisi Kebijakan
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Harga Emas Hari Ini Naik Semua! Antam Tembus Rp 2.356.000, Emas UBS Meroket!
-
Marak Apartemen Kosong, Begini Caranya Biar Investasi Properti Tetap Cuan
-
Staycation Jadi Mesin Pertumbuhan Sektor Hospitality
-
Update Nominal Dana Bantuan KJP Plus per Jenjang, Kapan Bisa Dicairkan?
-
Viral Peras Pabrik Chandra Asri, Ketua Kadin Cilegon Dituntut 5 Tahun Penjara
-
SBY Minta Masyarakat Sadar, Indonesia Bukan Negeri Kaya Minyak!
-
Catat Laba Bersih Rp389 M, KB Bank Perkuat Struktur Manajemen Lewat Pengangkatan Widodo Suryadi
-
Kementerian ESDM: Etanol Bikin Mesin Kendaraan jadi Lebih Bagus
-
Saham BCA Anjlok saat IHSG Menguat pada Senin Sore
-
Menkeu Purbaya Mendadak Batal Dampingi Prabowo Saat Serahkan Aset Smelter Sitaan, Ada Apa?