Suara.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan membantah jika utang yang ada saat ini hanya untuk belanja pegawai. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan efektifitas penggunaan utang dapat dilihat bagaimana pola belanjanya.
“Belanja itu terpakai buat apa? Itu yang menjadi acuan efektifitas utang. Kami ingin belanja berkualitas dan produktif, kami tidak ingin belanja yang sifatnya tidak produktif,” kata Luky saat di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2018).
Luky menjelaskan belanja yang diprioritaskan oleh pemerintah saat ini adalah sektor infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia. Kedua sektor belanja prioritas tersebut sifatnya investasi atau terdapat jangka waktu hingga hasilnya dapat dinikmati.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, tambahan utang kumulatif untuk infrastruktur meningkat dari Rp 456,1 triliun pada periode 2012-2014 menjadi Rp 904,6 triliun priode (2015-2017).
Sementara tambahan utang kumulatif untuk pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial) meningkat dari Rp 1.164,8 pada periode 2012-2014 menjadi Rp 1.716,5 triliun selama periode 2015-2017. Sedangkan untuk belanja tidak produktif, pemerintah sudah melakukan pengurangan. Salah satunya subsidi BBM.
"Subsidi BBM juga sifatnya konsumtif karena habis pada tahun itu juga. Kalau utang untuk yang sifatnya konsumtif tidak adil karena generasi mendatang yang akan menanggung," ujarnya.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri kembali mengkritik penggunaan utang negara. Menurutnya, utang tidak seperti yang digembar-gemborkan, untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Faisal merincikan selama periode 2014-2017, belanja barang pemerintah meningkat sampai 58 persen, sedangkan belanja modal pemerintah hanya tumbuh sebesar 36 persen.
Untuk tahun ini, lanjut Faisal, proyeksi belanja pegawai sebesar Rp 366 triliun atau naik 28 persen sejak 2014. Sementara di posisi kedua adalah belanja barang sebesar Rp 340 triliun atau naik 58 persen sejak 2014.
Sementara infrastruktur, yang masuk dalam kategori capital, berada di urutan ketiga yakni sebesar Rp 204 triliun atau naik 36 persen sejak 2014.
Baca Juga: Moodys Kembali Naikkan Peringkat Utang Indonesia
"Infrastruktur itu paling banyak dibiayai dari utang BUMN, yang tidak masuk dalam kategori utang yang direncanakan," ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
Jelang Akhir Tahun Realisasi Penyaluran KUR Tembus Rp240 Triliun
-
Jabar Incar PDRB Rp4.000 Triliun dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
-
BRI Insurance Bidik Potensi Pasar yang Belum Tersentuh Asuransi
-
Cara SIG Lindungi Infrastruktur Vital Perusahaan dari Serangan Hacker
-
Dukung Implementasi SEOJK No. 7/SEOJK.05/2025, AdMedika Perkuat Peran Dewan Penasihat Medis
-
Fakta-fakta RPP Demutualisasi BEI yang Disiapkan Kemenkeu
-
Rincian Pajak UMKM dan Penghapusan Batas Waktu Tarif 0,5 Persen
-
Tips Efisiensi Bisnis dengan Switchgear Digital, Tekan OPEX Hingga 30 Persen
-
Indef: Pedagang Thrifting Informal, Lebih Bahaya Kalau Industri Tekstil yang Formal Hancur
-
Permata Bank Targetkan Raup Rp 100 Miliar dari GJAW 2025