Suara.com - Industri jasa keuangan masih dibayangi ketidakpastian ekonomi. Menurut catatan Bank Dunia, resesi ekonomi masih akan mengancam perekonomian global, yang diakibatkan oleh kondisi geopolitik (perang), krisis pangan dan energi, lonjakan inflasi, hingga kenaikan suku bunga. Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju akan berada di level minus pada 2023.
Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memengaruhi perekonomian Indonesia, dan tentu saja berdampak pada para pelaku usaha negeri ini. Mulai dari peningkatan beban biaya, hingga pendapatan yang menurun. Imbasnya juga akan terjadi pada industri jasa keuangan. Akan ada efek pada penyaluran pembiayaan, pendapatan premi, hingga peningkatan kredit bermasalah.
Saat ini, risiko ekonomi bergeser dari ancaman pandemi ke ancaman gejolak ekonomi global. Hal ini ditandai oleh meningkatnya inflasi global, tensi geopolitik, risiko pangan, energi, dan krisis keuangan, serta peningkatan likuiditas dan kenaikan suku bunga yang akan meningkatkan risiko stagflasi.
Direktur Surat Utang Negara, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Deni Ridwan mengatakan, inflasi merupakan suatu hal yang sangat perlu diwaspadai karena adanya pemulihan ekonomi pasca pandemi, dimana adanya peningkatan dari sisi permintaan tetapi suplainya terbatas.
“Energi juga salah satu hal yang perlu kita garis bawahi ternyata krisis energi saat ini bukan karena hanya pemulihan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan perkiraan tapi juga kekosongan investasi di sektor energi terutama di fossil fuel selama beberapa tahun terakhir," ujar Deni Ridwan dalam diskusi yang digelar The Finance bertajuk “Prospek dan Tantangan Industri Keuangan di Tengah Ancaman Resesi dan Serangan Siber”.
Selain itu, pemulihan ekonomi mendorong scaring effect yang menyebabkan inflasi. Ditandai dengan beberapa negara G20 sudah mulai menaikan suku bunganya termasuk Indonesia yang saat ini di level 5,25%.
“Inflasi Indonesia masih terjaga di 5,7% karena adanya peran dari APBN sebagai shock absorber. Jadi negara lain kenapa inflasinya cukup tinggi karena peran budget-nya sudah terbatas,” tutur Deni.
Meski demikian, perekonomian Indonesia diproyeksikan masih baik dan akan tumbuh sekitar 5%. Di tengah outlook ekonomi global yang melemah seiring dengan berbagai peningkatan risiko.
Pemerintah sendiri sejauh ini telah mempersiapkan rencana jangka panjang dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi. Salah satunya dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru, sebagai katalis pertumbuhan dalam implementasi agenda reformasi struktural. Tren utama yang muncul setelah pandemi adalah pola hidup new normal, peta perdagangan, investasi baru, kesadaran energi hijau, serta ketahanan energi dan pangan.
Baca Juga: Sektor Pelayaran Diprediksi Kuat Bertahan dari Resesi, Pengusaha Beberkan Datanya
“Ini sesuatu yang menjadi konsen bersama, sehingga kita berusaha untuk memanfaatkan peluang ini untuk bisa melakukan reformasi struktural sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi,” ujar Deni Ridwan.
Deni menjelaskan, pemanfaatan peluang emerging trends dan reformasi struktural untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi antara lain, pertama, penggunaan produksi dalam negeri yang akan membantu pemulihan sektor riil.
Kedua, hilirisasi industri Sumber Daya Alam (SDA) bernilai tambah tinggi yang akan mendorong industri domestik, menambah lapangan kerja dan meningkatkan penerimaan negara.
Lalu ketiga, pembangunan EBT dan transisi ekonomi hijau yang telah tertuang dalam komitmen NDC (Nationally Determined Contribution). Terakhir, pemanfaatan ekonomi digital dan reformasi sektor keuangan. Ini menjadi penting karena visi Indonesia di 2045 Indonesia menjadi negara terbesar ke lima di dunia dari sisi PDB dengan nilai USD9,1 triliun dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar USD23 ribu.
“Tentu kita harus melakukan sektor keuangan yang berdaya saing di regional harapannya sektor keuangan yang dalam, inovatif, efisien, inklusif, dapat dipercaya serta stabil. Kita lihat bahwa pembangunan ekonomi butuh dukungan dari sektor keuangan yang dalam, kebutuhan ini mengandalkan dari saving, namun kita lihat nasional saving kita terus menurun dibandingkan dengan PDB,” ungkapnya.
Selain kondisi geopolitik, ancaman lain yang juga mesti diantisipasi dengan baik oleh industri keuangan adalah serangan siber (cyber crime). Persoalan yang kembali muncul belakangan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan cermat oleh para pelaku usaha di sektor keuangan, seiring pengembangan digital di sektor keuangan. Menurut catatan OJK pengembangan digital dibarengi dengan peningkatan probabilitas serangan siber.
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
-
Tukin Anak Buah Bahlil Naik 100 Persen, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tahu!
Terkini
-
Kebiasaan Mager Bisa Jadi Beban Ekonomi
-
Jurus Korporasi Besar Jamin Keberlanjutan UMKM Lewat Pinjaman Nol Persen!
-
Purbaya Sepakat sama Jokowi Proyek Whoosh Bukan Cari Laba, Tapi Perlu Dikembangkan Lagi
-
Dorong Pembiayaan Syariah Indonesia, Eximbank dan ICD Perkuat Kerja Sama Strategis
-
Respon Bahlil Setelah Dedi Mulyadi Cabut 26 Izin Pertambangan di Bogor
-
Buruh IHT Lega, Gempuran PHK Diprediksi Bisa Diredam Lewat Kebijakan Menkeu Purbaya
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
IHSG Merosot Lagi Hari Ini, Investor Masih Tunggu Pertemuan AS-China
-
Ada Demo Ribut-ribut di Agustus, Menkeu Purbaya Pesimistis Kondisi Ekonomi Kuartal III
-
Bahlil Blak-blakan Hilirisasi Indonesia Beda dari China dan Korea, Ini Penyebabnya