Suara.com - Rencana penerapan PPN multitarif di Indonesia kembali menjadi sorotan. Sejumlah pakar hukum pajak meragukan adanya dasar hukum yang kuat untuk mendukung kebijakan tersebut.
Mereka berpendapat bahwa aturan perpajakan yang ada saat ini belum mengakomodasi secara jelas mengenai penerapan tarif PPN yang berbeda-beda untuk berbagai jenis barang dan jasa.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi pajak yang paling dikenal dan banyak bersentuhan dengan masyarakat. Berbagai konsumsi barang maupun jasa dikenai PPN.
Mengutip Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Senin (23/12/2024) sebagai pajak objektif, PPN bisa dikenakan kepada siapa saja. Tak peduli kaya ataupun miskin. Asalkan mengonsumsi barang atau jasa yang kena PPN, mereka harus bayar PPN. Karenanya, predikat “money maker” disematkan kepada PPN karena konsumen tidak merasa dibebani pajak sehingga mudah dalam pemungutannya.
Bahkan, sebagian masyarakat juga sadar bukan saja pada pengenaan pajaknya. Mereka juga tahu berapa tarif PPN yang berlaku. Karena sering dicetak di bukti (struk) belanja, masyarakat dengan lancar menyebut bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 10%.
Sejak diberlakukan di Indonesia dengan UU No. 8 Tahun 1983 (efektif sejak 1 April 1985), tarif PPN tidak pernah berubah. Tetap sebesar 10%, meskipun undang-undang mengizinkan pemerintah mengubah tarif menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Ketika pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan berlangsung, wacana menaikkan tarif standar PPN 10% muncul ke permukaan. Pemerintah juga berniat menerapkan lebih dari satu tarif (multitarif) untuk barang atau jasa tertentu.
Kini, setelah disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP), pemerintah resmi menaikkan tarif standar PPN menjadi 11% pada April 2022 dan 12% paling lambat pada Januari 2025.
Kebijakan ini diyakini akan menaikkan penerimaan negara dari sektor PPN. Apalagi beberapa barang dan jasa yang sebelumnya tidak kena PPN menjadi kena PPN.
Baca Juga: Beras Impor Bakal Kena PPN 12 Persen, Ini Perbandingan Harganya Beras Lokal
Meskipun demikian, barang dan jasa tersebut oleh pemerintah mendapatkan fasilitas berupa PPN tidak dipungut maupun PPN dibebaskan. Hal ini tercantum dalam Pasal 16B UU PPN yang perubahannya tertuang dalam UU HPP.
Dengan demikian, pemerintah tetap menginginkan agar harga barang dan jasa tersebut tidak mengalami kenaikan di tingkat konsumen.
Selain itu, muncul pasal tambahan yaitu Pasal 9A yang menyatakan bahwa barang dan/atau jasa tertentu dapat dipungut PPN dengan besaran tarif tertentu. Mereka adalah barang atau jasa yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis pajak serta barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Selanjutnya, Pasal 16G memberikan panduan bahwa tarif PPN untuk jenis barang dan jasa tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Beredar informasi bahwa tarif dimaksud berada pada kisaran 1% s.d. 3% dari dasar pengenaan pajak.
Namun, kita masih menunggu PMK sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 16G tersebut.
Dengan demikian, sejak UU HPP disahkan, Indonesia secara resmi menerapkan multitarif dalam PPN setelah selama kurang lebih 36 tahun menerapkan tarif tunggal. Kecuali untuk ekspor yang dikenai PPN dengan tarif 0% karena adanya prinsip destinasi yang menyatakan bahwa PPN hanya dikenakan atas konsumsi di dalam negeri.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
Terkini
-
BRI, Dari Warisan Perintis Raden Bei Aria Wirjaatmadja Sampai Holding Ultra Mikro
-
Utang Luar Negeri Indonesia Turun, Kini Tinggal Rp 7.079 Triliun
-
Purbaya Mau Bubarkan Bea Cukai, Kalau Jadi Lebih Baik Mengapa Tidak?
-
Aset Perbankan Syariah Pecah Rekor Tertinggi, Tembus Rp 1.028 Triliun
-
Biar Tak Andalkan Ekspor Mentah, Kemenperin Luncurkan Roadmap Hilirisasi Silika
-
CIMB Niaga Mau Pisahkan Unit Usaha Syariah Jadi BUS
-
Paylater Melejit, OJK Ungkap NPL Produk BNPL Lebih Tinggi dari Kredit Bank
-
Harga Cabai Rawit Merah Mulai Turun, Dibanderol Rp 70.000 per Kg
-
Rupiah Melesat di Senin Pagi Menuju Level Rp 16.635
-
Emas Antam Harganya Lebih Mahal Rp 2.000 Jadi Rp 2.464.000 per Gram