Bisnis / Keuangan
Jum'at, 21 November 2025 | 13:24 WIB
Ilustrasi [Pixabay/vjkombajn]
Baca 10 detik
  • Harga Bitcoin tertekan hingga level terendah tujuh bulan di USD 89.000 akibat arus keluar ETF dan isu tarif baru AS.
  • Pelemahan ini dipicu faktor teknis dan sentimen global jangka pendek, fundamental aset kripto diklaim tetap kuat.
  • Pergerakan harga kembali menguat tipis seiring ekspektasi likuiditas membaik meski tekanan makro masih membayangi.

Suara.com - Harga Bitcoin (BTC) terus mengalami kemerosotoan hingga sentuh level USD 89.000. Level itu merupakan yang terendah dalam tujuh bulan terakhir.

Penurunan ini terjadi di tengah kombinasi tekanan teknis, arus keluar dari ETF Bitcoin di Amerika Serikat (AS), serta meningkatnya kekhawatiran pasar terkait rencana tarif baru pemerintahan AS. Meskipun demikian, perlu digaris bawahi bahwa pelemahan ini tidak disebabkan oleh penurunan fundamental aset kripto.

Selama empat hari berturut-turut, ETF Bitcoin di AS mencatat arus keluar dari total kepemilikan 441.000 BTC menjadi sekitar 271.000 BTC. Puncaknya, terjadi redemption lebih dari USD 800 juta dalam satu hari. Situasi ini menambah tekanan jual, terutama setelah harga Bitcoin gagal bertahan di atas area USD 92.000 dan turun melewati batas psikologis USD 90.000.

Ilustrasi trading crypto / bitcoin. (Dok. Freepik)

Sentimen pasar kian tertekan oleh rencana tarif hingga 500 persen yang diajukan Presiden Donald Trump kepada negara-negara yang masih melakukan perdagangan dengan Rusia. Kebijakan tersebut memicu kekhawatiran baru di pasar global, terutama pada aset berisiko seperti kripto.

Vice President Indodax, Antony Kusuma melihat kondisi pasar seperti ini merupakan bagian dari dinamika alami siklus kripto.

"Pergerakan harga yang terjadi saat ini lebih banyak dipengaruhi faktor teknis dan sentimen global dalam jangka pendek. Fundamental aset digital tetap kuat, dan di situasi seperti ini penting bagi investor untuk mengambil keputusan secara tenang dan terukur," ujar Antony di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Antony juga menegaskan, tekanan harga yang tajam seperti ini kerap terjadi ketika pasar sedang menyesuaikan diri dengan kondisi global.

"Kami memahami koreksi cepat bisa membuat banyak investor merasa cemas. Namun fase seperti ini biasanya bersifat sementara dan pasar akan kembali bergerak lebih rasional setelah volatilitas mereda," imbuhnya.

Ia menambahkan, volatilitas jangka pendek tidak mengubah pandangan jangka panjang para pelaku pasar berpengalaman.

Baca Juga: Aset Kripto Masuk Jurang Merah, Tekanan Jual Bitcoin Sentuh Level Terendah 6 Bulan

"Bagi investor jangka panjang, momen seperti ini sering dianggap sebagai peluang untuk menambah posisi secara bertahap," imbuh Antony.

Namun, Bitcoin mulai menunjukkan tanda penguatan seiring ekspektasi likuiditas yang membaik di Amerika Serikat, terutama setelah The Fed berencana menghentikan penurunan neracanya dan membuka opsi operasi repo yang bisa menambah cadangan dana ke sistem keuangan.

Akan tetapi, tekanan makro masih menahan langkah Bitcoin untuk naik lebih jauh. Sentimen pasar tetap rapuh akibat inflasi yang belum jinak, sektor properti dan otomotif yang melemah, serta ketidakpastian menjelang keputusan suku bunga The Fed pada 10 Desember 2025 mendatang.

Di saat bersamaan, regulator AS ikut menjadi perhatian setelah SEC tidak lagi menempatkan aset kripto sebagai fokus utama dalam prioritas pemeriksaan 2026. Fokus lembaga tersebut kini bergeser ke kewajiban fidusia, keamanan siber, privasi data, serta risiko teknologi seperti AI.

Meski begitu, SEC menegaskan bahwa aset kripto tetap bisa masuk dalam pemeriksaan jika dinilai memiliki tingkat risiko yang tinggi, sehingga pengawasan terhadap industri ini belum benar-benar hilang.

Di sisi lain, koreksi ini tidak menandai dimulainya tren bearish baru. Tekanan saat ini lebih disebabkan oleh likuiditas pasar yang mengetat, rotasi antar investor besar, serta pelemahan sentimen akibat ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed.

Load More