Suara.com - Pakar perubahan iklim menyebutkan gelombang el nino yang terjadi di pasifik saat ini sama kuatnya seperti di tahun 1997. Indonesia mengalami kekeringan terparah sejak kurun waktu tahun akhir 90-an.
Pakar Perubahan Iklim dari Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer menjelaskan saat tahun 1997 Indonesia juga dilanda kebakaran lahan kering. Bahkan saat itu konsentrasi CO2 yang dikeluarkan mencapai 1 part per million (ppm).
"Jadi atnosfer kita kandungan CO2nya sudah mencapai 400-500 ppm. Nah kebakaran saat itu menyumbang sama dengan 1 ppm, itu sangat besar," kata dia saat berbincang dengan suara.com pertengahan pekan ini.
Dia mengatakan kebakaran hutan hebat itu disebabkan sistem tebas bakar untuk membuka lahan. Sistem itu memungkinkan petani membakar lahan yang kebanyakan terdapat ilalang dan rumput kering.
"Sekarang ini keadaan semak belukar semakin luas. Banyak sekali hutan-hutan kita yang terdegradasi, rusak dan berubah jadi semak belukar. Saat kemarau panjang kawasan itu kering, jadi ketersediaan fuel itu banyak sekali. Pada saat terjadi pembukaan lahan dengan membakar. Maka saat siang sangat terik, api sulit dipadamkan. Apalagi dengan angin," jelas dia.
Menurutnya sistem tebas bakar akan sangat berbahaya saat el nino datang. Sebab waktu kekeringan akan sangat lama, sampai 16 bulan. Sementara el nino saat ini diperkirakan akan berakhir Maret 2016 tahun depan.
"Makanya saat tahun-tahun el nino pasti meningkat dan kebakaran meluas ke mana-mana. Sehingga sulit dikendalikan," katanya.
El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut atau sea surface temperature di samudra Pasifik sekitar equator. Khususnya di bagian tengah dan timur atau sekitar pantai Peru. Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim.
"El nino menyebabkan kemarau panjang di Indonesia. Atau kemarau yang kering sering sekali dan berasosiasi dengan fenomena el nino," papar dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
Terkini
-
Keroyok 'Mata Elang' Hingga Tewas, Dua Polisi Dipecat, Empat Lainnya Demosi
-
Disebut-sebut di Sidang Korupsi Chromebook: Wali Kota Semarang Agustina: Saya Tak Terima Apa Pun
-
Kemenbud Resmi Tetapkan 85 Cagar Budaya Peringkat Nasional, Total Jadi 313
-
Bukan Sekadar Viral: Kenapa Tabola Bale dan Tor Monitor Ketua Bisa Menguasai Dunia Maya?
-
Muncul SE Kudeta Gus Yahya dari Kursi Ketum PBNU, Wasekjen: Itu Cacat Hukum!
-
Drone Misterius, Serdadu Diserang: Apa yang Terjadi di Area Tambang Emas Ketapang?
-
Wujudkan Kampung Haji Indonesia, Danantara Akuisisi Hotel Dekat Ka'bah, Ikut Lelang Beli Lahan
-
Banyak Terjebak Praktik Ilegal, KemenPPPA: Korban Kekerasan Seksual Sulit Akses Aborsi Aman
-
Sejarah Baru, Iin Mutmainnah Dilantik Jadi Wali Kota Perempuan Pertama di Jakarta Sejak 2008
-
Yusril Beri 33 Rekomendasi ke 14 Kementerian dan Lembaga, Fokus Tata Kelola Hukum hingga HAM Berat