Suara.com - Kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud dari Arab Saudi ke Indonesia dinilai Keluarga Buruh Migran Indonesia sebagai momen yang tepat bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mendesak Arab Saudi agar membebaskan seluruh buruh migran tanpa syarat yang terancam hukuman mati. Selain itu, menolak segala perjanjian dengan Arab Saudi yang dinilai mengkhianati rakyat.
Pemerintah Indonesia selama ini dinilai tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat Indonesia, khususnya terhadap buruh migran, dan hanya mementingkan kepentingan investasi asing yang menguntungkan pihak pemodal dan tidak memperbaiki keadaan rakyat yang semakin miskin akibat krisis kronis.
Kedatangan raja kerajaan Arab Saudi pada 1-9 Maret dinilai hanya fokus pada rencana investasi.
Pertemuan Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi telah menghasilkan 11 nota kesepahaman terkait kerjasama ekonomi, keuangan, perdagangan, pendidikan, penerbangan, kesehatan, dan kebudayaan.
“Tidak ada poin dalam Nota Kesepahaman yang membicarakan perlindungan BMI di Arab Saudi agar mendapatkan perlindungan, bebas dari kriminalisasi semena-mena, hukuman mati, mendapat jaminan kerja layak dan hak sebagai pekerja dipenuhi, serta mendapat hak demokratis lainnya,” kata juru bicara Keluarga Buruh Migran Indonesia, Marjaenab.
Pemerintah dinilai hanya tertarik dengan investasi Arab Saudi untuk proyek pembangunan infrastruktur, pertambangan minyak, dan perdagangan.
Pemerintah Indonesia berharap komitmen investasi 25 miliar dollar AS dari Arab Saudi dapat terealisasi, termasuk investasi perusahaan tambang besar milik Arab, yakni Aramco senilai 6 milliar USD untuk pembangunan kilang di Cilacap dan kerjasama dengan Pertamina. Arab Saudi dinilai memiliki kepentingan besar mengatasi krisis ekonominya sehingga mereka gencar menanam investasi di luar negeri agar dapat memutar modalnya yang mandeg, dimana modal didapatkan dari keistimewaan puluhan tahun oleh imperialis Amerika Serikat sebagai sekutu lamanya.
"Wajar, sambutan mewah dan meriah mengiringi Raja Salman karena ada investasi besar yang dinantikan," kata Marjaenab.
Dalam soal buruh migran, kata Marjaenab, Presiden Jokowi hanya menyampaikan permintaan ke Raja Salman agar pekerja Indonesia di Arab Saudi mendapat pengayoman dan perlindungan, seperti yang disampaikan menteri luar negeri.
Baca Juga: Ahok Ingin Djarot Ikut Bahagia Bisa Jabat Tangan Raja Salman
“Pemerintah RI tidak mendesak Raja Salman agar membebaskan 25 WNI di yang terancam hukuman mati dan BMI yang dikriminalisasi di Arab Saudi. Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan MoU yang menjamin perlindungan dan jaminan hak normatif (libur, cuti, upah, hak atas dokumen, jam kerja dan sebagainya)," kata Marjaenab.
Sebagai contoh, Wati dari Indramayu yang dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan praktik sihir kepada majikan. Hal yang penting, kata dia, agar pemerintah mendesak Raja Salman dapat menjamin buruh tidak mendapat perlakuan buruk yang sering dialami seperti penyiksaan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan serta menghukum berat majikan yang melakukan kejahatan terhadap buruh.
"Tidak adanya perlindungan ketenagakerjaan bagi buruh migran di Arab Saudi, mengakibatkan tingginya permasalahan yang dialami Buruh Migran Indonesia. Diperparah dengan tidak adanya penegakan hukum bagi warga Arab Saudi yang menjadikan tidak adanya efek jera bagi majikan," katanya.
Moratorium (penghentian) untuk sektor pekerja rumah tangga dinilai tidak akan menyelesaikan masalah, malahan menjadi penyebab perdagangan manusia karena setelah penghentian pengiriman PRT, banyak buruh dikirim dengan visa turis, umroh, dan visa kerja perusahaan namun dikerjakan di perseorangan.
Dalam siaran pers, Marjaenab juga menyampaikan bahwa pemerintahan Jokowi bukannya menyelesaikan akar permasalahan buruh migran dengan menyediakan lapangan pekerjaan di Indonesia, tapi malahan menerima investasi yang justru akan menghilangkan penghidupan rakyat karena dampak pembangunan insfratruktur dan pembangunan industri yang akan merampas tanah rakyat.
“Kebijakan ini akan semakin memaksa rakyat untuk bermigrasi untuk menjadi buruh migran untuk mempertahankan hidup, walaupun menjadi buruh murah dan tanpa perlindungan. Perampasan tanah dan tidak adanya industri nasional yang kuat dan mandiri menjadikan besarnya pengangguran akibat tidak terserap industri yang dikuasai oleh korporasi monopoli internasional,” kata Marjaenab.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Jemput Weekend Seru di Bogor! 4 Destinasi Wisata dan Kuliner Hits yang Wajib Dicoba Gen Z
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Menhan Bocorkan Isi Pertemuan Para Tokoh di Rumah Prabowo, Begini Katanya
-
Efek Revisi UU TNI? KontraS Ungkap Lonjakan Drastis Kekerasan Aparat, Papua Jadi Episentrum
-
Ajudan Ungkap Pertemuan 4 Mata Jokowi dan Prabowo di Kertanegara, Setelah Itu Pamit
-
SK Menkum Sahkan Mardiono Ketum, Muncul Seruan Rekonsiliasi: Jangan Ada Tarik-Menarik Kepentingan!
-
Jokowi Sambangi Prabowo di Kertanegara Siang Tadi Lakukan Pertemuan Hampir 2 Jam, Bahas Apa?
-
Catatan Hitam KontraS di HUT TNI: Profesionalisme Tergerus, Pelibatan di Urusan Sipil Kian Meluas!
-
SDA Jamin Jakarta Tak Berpotensi Banjir Rob pada Bulan Ini, Apa Alasannya?
-
Beri Kontribusi Besar, DPRD DKI Usul Tempat Pengolahan Sampah Mandiri di Kawasan Ini
-
Novum jadi Pamungkas, Kubu Adam Damiri Beberkan Sederet Fakta Mencengangkan!
-
Soal Udang Kena Radiasi Disebut Masih Layak Dimakan, DPR 'Sentil' Zulhas: Siapa yang Bodoh?