Suara.com - Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat, berencana mengajukan uji materi terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Koalisi sejumlah organisasi nirlaba tersebut menilai, qanun atau peraturan daerah (perda) yang mengatur mengenai sanksi pidana tersebut cenderung diskriminatif terhadap perempuan, kaum disabilitas, dan kelompok minoritas.
”Tak hanya itu, keberadaan Qanun Jinayat tersebut juga dikhawatirkan diadopsi oleh daerah-daerah lain dan juga berkecenderungan melakukan diskriminasi,” kata aktivis Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat, Zakiatunnisa, saat berkunjung ke kantor redaksi Suara.com, Senin (16/10/2017).
Ia menjelaskan, sejak diterapkan pada 23 Oktober 2015, terdapat banyak pasal dalam qanun itu yang justru mempersempit akses perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan.
Misalnya, kata Zakia, Pasal 52 ayat 1 qanun itu yang mengatur bahwa korban pemerkosaan harus bisa memberikan bukti adanya aksi rudapaksa terhadap dirinya.
Padahal, dalam kasus pemerkosaan di negara yang menerapkan sistem pidana umum pun, korban sulit menyediakan alat bukti maupun saksi.
Terlebih, sambung Zakia, korban pemerkosaan juga menderita dampak psikologis sehingga sulit mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi.
Anehnya, dalam qanun itu juga diatur, tersangka pemerkosaan yang mayoritas laki-laki justru mudah terbebas dari segala tuduhan hanya kalau berani mengucapkan sumpah.
Baca Juga: Bernilai Miliaran Dolar AS, Pemerintah Perlu Atur Regulasi IoT
”Pelaku pemerkosaan ataupun kekerasan terhadap perempuan lainnya bisa bebas kalau berani mengucapkan sumpah sebanyak 5 kali. Setelah mengucap sumpah itu, dia bisa bebas. Sangat mudah,” tukasnya.
Akibatnya, banyak perempuan korban pemerkosaan maupun kekerasan lainnya mengurungkan niat untuk melapor ke polisi. Contohnya, kasus yang menimpa seorang bocah perempuan penyandang disabilitas di Desa Meunasah Geudong, Kabupaten Biruen.
Selain pasal 52 ayat 1, Zakia mengatakan Pasal 9 Qanun Jinayat juga dinilai sebagai ”pasal karet” dan merugikan kaum perempuan dan kelompok minoritas di Aceh.
”Sebab, pasal itu mengatur bahwa petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) diberikan kekebalan hukum saat beraksi. Dengan begitu, sangat rentan terjadi kesewenang-wenangan, dan menghapus asas praduga tak bersalah dalam hukum. Jadi, setiap ada yang digerebek, mereka sudah dipastikan dicap bersalah walau tanpa pembuktian,” terang Donna.
Dalam banyak kasus, terusnya, Satpol PP dan WH yang melakukan penggerebekan tertuduh pasangan khalwat atau perzinaan melakukan kekerasan fisik maupun verbal.
”Pada satu kasus, ada aparat yang merekam orang yang diduga berzina dan mengarak korban yang tak berpakaian. Kemudian video itu disebar melalui media resmi pemerintah Aceh,” ungkapnya.
Hukuman Cambuk
Donna Swita, aktivis lainnya dalam jaringan tersebut, mengatakan hukuman yang diberikan kepada korban yang secara sepihak diklaim sebagai pelaku zina, homoseksual, maupun pelanggaran syariat lainnya juga tak adil.
”Dalam qanun itu disebutkan, sanksi yang diberikan ada tiga, yakni penjara, cambuk, atau denda emas. Namun, dalam proses penyelesaian kasus, banyak korban akhirnya terpaksa memilih hukuman cambuk karena paling sedikit konsekuensi yang harus ditanggung,” terangnya.
Ia menuturkan, korban yang dijerat memakai qanun itu mayoritas warga dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah atau rakyat miskin.
Alhasil, kalau mereka minta dihukum penjara otomatis tak bisa bekerja. Padahal, tak sedikit dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.
Sementara sebagai warga miskin, mereka juga tak bisa membayar denda 100 hingga 200 gram emas untuk satu kasus.
”Nah, akhirnya, mereka hanya bisa memilih hukuman cambuk yang yang bertentangan dengan UUD 1945 maupun prinsip hak asasi manusia. Apalagi, dalam menjalani hukuman, tak sedikit algojo yang melakukan pelanggaran sehingga membuat cedera parah si terhukum,” jelasnya.
Derita korban qanun itu tak hanya sampai saat hari eksekusi. Sebab, kata Donna, korban qanun itu biasanya tak lagi diterima oleh masyarakat.
”Ada korban yang dagangannya tak lagi laku. Ada yang tak diterima bekerja. Bahkan, keluarga dan anak-anak mereka juga terkena imbas. Ada kasus yang tengah berlangsung, anak-anak korban tak diterima lagi bersekolah karena orang tuanya melanggar qanun,” tandasnya.
Untuk diketahui, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat adalah koalisi 18 organisasi nirlaba, di antaranya yakni Solidaritas Perempuan; Institut Criminal Justice Reform (ICJR); dan Human Rights Working Group (HRWG).
Selanjutnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); LBH Apik; Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI); Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta; Serikat Juenalis untuk Keberagaman (SejuK); LBH Masyarakat; KontraS Jakarta; LBH Jakarta; Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika; Yayasan Satu Keadilan Bogor; Pusat Studi Hukum dan Kebijakan; ELSAM; Cedaw Working Group Indonesia; Setara Institut; dan, Konde Institut.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Terkuak! Alasan Ustaz Khalid Basalamah Cicil Duit Korupsi Haji ke KPK
-
Periksa Dirjen PHU Hampir 12 Jam, KPK Curiga Ada Aliran Uang Panas dari Kasus Korupsi Kuota Haji
-
Mardiono Tanggapi Munculnya Calon Ketum Eksternal: PPP Punya Mekanisme dan Konstitusi Baku
-
Dirut BPR Jepara Artha Dkk Dapat Duit hingga Biaya Umrah dalam Kasus Kredit Fiktif
-
Muncul ke Publik Usai Dikira Hilang saat Demo Ricuh, Eko Purnomo: Maaf Bikin Khawatir
-
KPK Wanti-wanti Kemenkeu soal Potensi Korupsi dalam Pencairan Rp 200 Triliun ke 5 Bank
-
Mendagri Jelaskan Pentingnya Keseimbangan APBD dan Peran Swasta Dalam Pembangunan Daerah
-
Dukungan Mengalir Maju Calon Ketum PPP, Mardiono: Saya Siap Berjuang Lagi! Kembali PPP ke Parlemen!
-
KPK Beberkan Konstruksi Perkara Kredit Fiktif yang Seret Dirut BPR Jepara Artha
-
Peran Satpol PP dan Satlinmas Dukung Ketertiban Umum dan Kebersihan Lingkungan Diharapkan Mendagri