Suara.com - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menyampaikan usulan agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020. Permintaan tersebut disampaikannya dalam rapat Badan Legislatif DPR, beberapa waktu lalu.
Dalam alasannya, disebutkan jika pembahasan RUU PKS terlalu sulit untuk dilakukan.
Merespon hal tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang sulitnya pembahasan RUU PKS secara materi tidak seharusnya menjadi penghalang pembahasan RUU tersebut. Lantaran itu juga harus menjadi cambuk DPR dan pemerintah, bahwa melindungi korban kekerasan seksual adalah hal yang kompleks, maka negara harus hadir dalam perumusan kebijakan dan implementasi.
"DPR harus segera menjamin pembahasan RUU PKS, tetap harus menjadi prioritas," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu pada Rabu (1/7/2020).
RUU PKS sendiri merupakan usulan dari DPR yang sudah dibahas sejak periode DPR RI 2016-2019. Pada periode yang baru, RUU PKS kemudian dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 untuk segera dibahas bersama dengan pemerintah.
Sayangnya, pembahasan RUU PKS pada periode lalu terus terjegal, karena adanya perdebatan yang masih jauh membahas substansi secara mendalam. Dalam periode baru di tahun 2020, belum dilakukan pembahasan resmi RUU PKS, namun kabar terakhir justru Komisi VIII DPR-RI menyatakan menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020.
"DPR dan Pemerintah perlu kembali mengetahui RUU PKS dihadirkan dengan semangat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Yang mana mereka masih sulit memperoleh perlindungan dalam aspek penanganan kasus, layanan bantuan langsung korban hingga aspek pemulihan komprehensif," katanya.
Berbagai kasus kekerasan seksual terus saja terjadi tanpa adanya intervensi yang berarti dari negara, sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak korban atas perlindungan dan juga pemulihan. Hal itu terlihat dari kasus Baiq Nuril Maknun, yang menjadi korban kekerasan seksual atasannya. Baiq Nuril seharusnya diberikan perlindungan untuk dapat melaporkan kasusnya justru dijadikan korban dengan bayang-bayang kriminalisasi.
Korban-korban, selain Baiq Nuril, jelas akan takut untuk berjuang memperoleh keadilan jika masih dibayangi ketakutan kriminalisasi termasuk stigma aparat penegak hukum yang justru menyalahkan korban.
Erasmus juga menambahkan, pembahasan RUU PSK secara komprehensif diperlukan atas dasar beberapa hal. Pertama, minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual.
Baca Juga: DPR Mengeluh Pembahasan RUU PKS Sulit, Sujiwo Tejo Sindir Pakai Kwaci
Berdasarkan data BPS pada tahun 2018 tercatat jumlah kasus perkosaan adalah 1.288 sedangkan pencabulan tercatat 3.970, paling tidak terdapat 5247 kasus kekerasan seksual pada 2018, sedangkan pada tahun 2017 berjumlah 5.513 kasus. Namun, akses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangat minim.
Berdasarkan Laporan Tahunan LPSK 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang. Padahal, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, sepanjang 2019 setidaknya dari 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas, 58 persen diantaranya adalah merupakan kasus kekerasan seksual.
Kedua, Pemerintah abai dengan pemulihan korban kekerasan seksual, dengan mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. Pemerintah pada 18 September 2018 lalu menerbitkan Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual.
Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Sehingga sejak pemberlakuan Perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara.
Baru pada Januari 2020 lalu kemudian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan lampu hijau kepada Kementerian PPPA untuk mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan menggunakan Dana Dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan ataupun Dana Alokasi Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan mengenai pemberitaan ini.
Selama ini, kebijakan pembiayaan visum yang ditanggung negara tergantung pada kebijakan daerah masing-masing, seperti misalnya di DKI Jakarta yang menggratiskan biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO