Suara.com - Komnas HAM menyatakan dugaan adanya keterlibatan anggota TNI dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, di Distrik Hitadipa, Papua, dan merekomendasikan agar kasus penembakan pada 19 September lalu itu dibawa ke peradilan koneksitas demi transparansi.
Hasil investigasi Komnas HAM ini dirilis hampir dua pekan setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyampaikan laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang menunjukkan bahwa ada "dugaan keterlibatan oknum aparat" dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua.
Akan tetapi, kasus ini tidak kunjung berlanjut ke pengadilan—walau Mahfud MD telah meminta Polri dan Kejaksaan untuk menyelesaikannya sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu.
Pihak TNI sendiri mengatakan masih harus menunggu hasil investigasi sesuai proses hukum dan menjanjikan akan memberikan tindakan tegas jika anggotanya terbukti melakukan penembakan.
Sementara, pengamat mengatakan pemerintah harus segera menindaklanjuti hasil investigasi Komnas HAM.
- Penembakan pengurus gereja di Papua disebut bisa 'timbulkan antipati warga terhadap pemerintah Indonesia'
- Menkopolhukam rekomendasikan penambahan pasukan di Papua, pihak gereja: 'itu tidak ciptakan iklim perdamaian'
- Dosen UGM anggota tim pencari fakta kematian pendeta Papua tertembak dan dievakuasi, TPNPB klaim bertanggung jawab
Dalam rilis hasil investigasi kematian Pendeta Yeremia Zanambani, di Distrik Hitadipa, Papua, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan peristiwa pada 19 September lalu diduga melibatkan anggota TNI.
Investigasi itu mengungkap bahwa menjelang penembakan terhadap Pendeta Yeremia, TNI sempat mengumpulkan warga setempat untuk mencari senjata api yang dirampas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Dalam pengumpulan massa tersebut, Yeremia beserta lima orang lainnya dicap sebagai musuh salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa.
"Pendeta Yeremia Zanambani diduga sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan/atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas TPNPB/OPM maupun keberadaan anggota TPNPB/OPM lainnya," kata Anam dalam acara konferensi pers laporan investigasi pada Senin (2/11).
Baca Juga: Komnas HAM: Pendeta Yeremia Zanambani Dipaksa Berlutut Sebelum Dibunuh
"Hal ini secara tegas disampaikan saudara Alpius, anggota TNI Koramil Hitadipa, yang menyebutkan nama Pendeta Yeremia Zanambani sebagai salah satu musuhnya. Pendeta Yeremia Zanambani juga cukup vokal dalam menanyakan keberadaan hilangnya dua orang anggota keluarganya kepada pihak TNI," tambahnya.
Laporan Komnas HAM juga mengungkap bahwa korban sebelum meninggal dunia mengungkap identitas pelaku kepada dua orang saksi. Ada pula tercatat pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat anggota TNI tersebut berada di sekitar TKP pada waktu kejadian bersama dengan tiga atau empat anggota lainnya.
Dugaan tindakan kekerasan disamping penembakan
Selain ditembak, Pendeta Yeremia—berdasarkan investigasi Komnas HAM—diduga mengalami penyiksaan berupa jeratan sampai ia dipaksa berlutut, hingga kemudian berujung pada pembunuhan di luar proses hukum alias extrajudicial killing.
"Komnas HAM menyimpulkan bahwa Pendeta Yeremia Zanambani mengalami penyiksaan dan atau tindakan kekerasan lainnya berupa tembakan ditujukan ke lengan kiri korban dari jarak kurang dari satu meter - jarak pendek - pada saat posisi korban berlutut," tutur Choirul Anam.
"Korban mengalami tindakan kekerasan lain berupa jeratan - ini jeratan yang di leher, jeratan yang intravital itu, bisa dengan tangan, bisa juga dengan sebuah alat - untuk memaksa korban berlutut, yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban yang terlihat pada foto. Ketika kami rekonstruksi di olah TKP, memang memungkinkan itu terjadi," tambahnya.
Menurut Komnas HAM, penyebab kematian pendeta Yeremia adalah karena kehabisan darah, sebab luka-luka yang ditemukan bukan di titik yang mematikan dan korban juga masih bertahan hidup lima hingga enam jam pascaditemukan di kandang babi dalam keadaan terluka.
Menanggapi hasil investigasi Komnas HAM terkait kematian Pendeta Yeremia Zanambani, pihak TNI mengatakan masih perlu menunggu hasil investigasi sesuai proses hukum.
Meski demikian, Kepala Penerangan Kogabwilhan III di Papua, Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa, mengatakan pihaknya akan mengambil tindakan tegas bila ada anggota TNI yang terlibat.
Nyoman juga menambahkan bahwa tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, sebelumnya juga menyimpulkan bahwa adanya dugaan keterlibatan aparat, meskipun hingga kini masih belum ada bukti konkret terkait dugaan itu.
"Sah-sah aja kalau masih ada penyimpulan terduga, boleh-boleh aja, karena tim TGPF juga menyampaikan "diduga kuat", artinya masih dugaan-dugaan sekarang. Biasa saja. Nanti apabila buktinya sudah ada, dan menjadi tersangka oknum yang diduga tersebut, maka TNI akan memberikan tindakan tegas, sesuai hukum yang berlaku," ujar Nyoman via telpon, Senin (2/11).
"Tapi sebaiknya kita menjunjung proses penyelidikan yang dilaksanakan oleh TGPF. Apapun keputusan hasilnya nanti, kita akan melaksanakan," imbuhnya.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan laporan TGPF menunjukkan bahwa ada "dugaan keterlibatan oknum aparat"dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, meskipun ada juga kemungkinan dilakukan oleh pihak ketiga.
Berdasarkan hasil investigasi itu, Mahfud merekomendasikan penambahan aparat di wilayah Papua untuk menjaga keamanan.
Hal itu dikritik oleh pihak gereja yang juga mengatakan langkah tersebut justru tidak akan menciptakan iklim perdamaian.
Seperti halnya hasil investigasi TGPF, laporan Komnas HAM juga akan disampaikan kepada pemerintah.
'Membongkar kasus kekerasan di Papua'
Selain mengungkap hasil temuan dan analisa peristiwa kematian Yeremia Zanambani, Komnas HAM juga merekomendasikan agar kasus tersebut dibawa ke peradilan koneksitas demi menjaga transparansi. Jalur tesebut dinilai lebih baik daripada peradilan militer.
Peneliti masalah Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri menekankan pemerintah perlu menindaklanjuti hasil investigasi untuk menunjukkan keseriusannya menyelesaikan masalah kekerasan di Papua.
"Ini menjadi momen pembuktian bagi pemerintah bahwa pemerintah menanggapi serius terkai kasus kekerasan, terutama kekerasan terhadap masyarakat sipil. Dan dalam hal ini apalagi, korbannya dalah tokoh agama yang sangat dihormati oleh orang Papua dan punya posisi penting bagi masyarakat di sana," tutur Aisah, (2/11).
"Jadi menurut saya ini momen penting justru bagi pemerintah untuk menunjukkan itikad baiknya untuk menunjukkan keseriusannya dan juga menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk membongkar berbagai kasus yang melibatkan kekerasan yang lain di Papua, juga termasuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini dijanjikan akan diselesaikan investigasinya," tutupnya.
Menyusul kematian pendeta Yeremia, penembakan pada pengurus gereja di Papua berulang kembali. Rufinus Tigau, seorang pengurus gereja Katolik dalam kontak senjata antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan pada Oktober 26 lalu.
Insiden terkait Rusinus merupakan peristiwa penembakan ketiga yang pada tokoh-tokoh gereja dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Sebelumnya, pada awal Oktober, Agustinus Duwitau, seorang pewarta yang bertugas di gereja Katolik di Emondi, Distrik Sugapa, tertembak di bagian bahu kirinya.
Berita Terkait
-
Ikut Terganggu, Panglima TNI Jenderal Agus Minta Pengawalnya Tak Pakai Sirine-Strobo di Jalan
-
Anggaran Jumbo Pertahanan RI Rp187,1 Triliun, Panglima TNI: Senjata Canggih Itu Sangat Mahal
-
Melihat Lebih Dekat Alat Tempur TNI di TNI Fair 2025
-
Mimpi Jadi Tentara Terhalang Duit? KSAD Maruli Simanjuntak: Siapa Pun Bisa Daftar Tanpa Biaya!
-
Panglima TNI Beberkan Alasan TNI Tambah Alutsista Baru, 'Harimau Besi' yang Mengerikan!
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- 17 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 20 September: Klaim Pemain 110-111 dan Jutaan Koin
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Korban Keracunan MBG di Yogyakarta Nyaris 1000 Anak, Sultan Akhirnya Buka Suara
- Momen Thariq Halilintar Gelagapan Ditanya Deddy Corbuzier soal Bisnis
Pilihan
-
Rapor Dean James: Kunci Kemenangan Go Ahead di Derby Lawan PEC Zwolle
-
Nostalgia 90-an: Kisah Tragis Marco Materazzi yang Nyaris Tenggelam di Everton
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan Memori 256 GB Terbaru September 2025
-
Perbandingan Spesifikasi Redmi 15C vs POCO C85, Seberapa Mirip HP 1 Jutaan Ini?
-
Rapor Pemain Buangan Manchester United: Hojlund Cetak Gol, Rashford Brace, Onana Asisst
Terkini
-
Panglima TNI Beberkan Alasan TNI Tambah Alutsista Baru, 'Harimau Besi' yang Mengerikan!
-
Jokowi Perintahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode, Loyalis Malah Beri Jawaban Menohok?
-
Mengupas MDIS: Kampus Singapura Tempat Gibran Raih Gelar Sarjana, Ijazahnya Ternyata dari Inggris!
-
Minta Satpol PP Tak Pakai Kekerasan, Mendagri Tito: Biar Didukung Publik
-
Anak Mantan Bupati Koruptor Kini Dipecat PDIP: Jejak Skandal DPRD Viral "Rampok Uang Negara"
-
7 Klausul Surat Perjanjian MBG SPPG Sleman: dari Rahasiakan Keracunan hingga Ganti Rugi Rp80 Ribu
-
Tiga Kecelakaan Transjakarta dalam Sebulan, Pemprov DKI Fokus Perbaikan Human Factor
-
Serangan Roy Suryo! Sebut Ijazah S1 Gibran Palsu Beli di Website, Samakan IQ Rendah dengan Jokowi
-
Sinyal Retak? Jokowi Perintahkan Dukung Gibran 2 Periode, GCP Balas Telak: Wapres Tak Harus Dia!
-
Adian Napitupulu Minta Kewenangan BAM DPR Ditambah, Biar Bisa Panggil Pejabat Bermasalah