Suara.com - Ruang demokrasi di masa pandemi Covid-19 menjadi terbatas bagi adanya pertemuan masyarakat secara fisik. Tidak hanya itu, urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, sosial, dan lainnya diatur dan dibatasi demi mencegah menyebarnya virus korona.
Sejak itu, kebutuhan masyarakat akan ruang publik berpindah ke ruang digital. Internet memampukan ruang-ruang digital untuk saling terhubung dan menghubungkan warga menjadi warganet.
Dalam pemikiran Hannah Arendt (Marjin Kiri, 2012), ruang publik adalah tempat manusia bebas bersama-sama membicarakan dan memutuskan persoalan-persoalan publik secara argumentatif. Menurut filsuf Yahudi ini, demokrasi dan politik berbasis pada kemajemukan manusia.
Masyarakat majemuk kembali bercakap-cakap melalui jejaring media sosial. Pelajar dan mahasiswa menempuh pendidikan melalui kelas-kelas daring. Pelayanan kesehatan dan keuangan bertransformasi melalui aplikasi-aplikasi berbasis Internet.
Di titik ini, demokrasi juga berpindah ke ruang digital dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, ekses negatif juga melintasi ruang digital bagi demokrasi dalam bentuk ujaran kebencian dan kabar bohong.
Batas antara demokrasi untuk kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian menjadi tidak jelas. Jaringan Internet dan jejaring media sosial seakan menciptakan dunia maya yang sama sekali baru bagi setiap pihak untuk mewujudkan apa saja.
Demokrasi digital dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses politik dan pemerintahan. Dalam kondisi ideal, Internet mendorong aspirasi masyarakat tersampaikan melalui berbagai saluran komunikasi pemerintahan sehingga tercipta kebijakan dan regulasi publik.
Artinya masyarakat seyogianya memiliki kesempatan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi secara demokratis di ruang digital. Namun, optimisme akan demokrasi digital itu memudar. Rohaniwan dan budayawan Sindhunata, dalam Majalah Basis Edisi 3-4 Tahun 2019, menandai zaman ini dengan keciri bahwa jaringan Internet dan jejaring media sosial malah menjadi dunia yang nyaris anarkis.
Baca Juga: Pemerintah Terus Dorong Pemulihan UMKM dari Dampak Pandemi
Menurut Sindhunata, manusia bisa menumpahkan apa saja di Internet, termasuk kebencian, permusuhan, agresivitas, egoisme, dan naluri destruktifnya. Seolah-olah tidak ada hukum dan otoritas yang bisa mengontrolnya. Kabar bohong merajalela tanpa halangan di jejaring media sosial.
Dalam praktek pesta demokrasi di Indonesia, realitas politik dan pemerintahan mencatatkan bahwa sejak Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 lalu, demokrasi bagi masyarakat terbelah menjadi golongan cebong, kampret, dan golput.
Bagi kalangan cebong, sosok Joko Widodo adalah keutamaan di Indonesia, dan bagi kalangan kampret, Prabowo Subiantoro adalah penyelamat bagi Indonesia. Sementara kalangan golput alias golongan putih, menjustifikasi sebagai yang cerdas dalam berpolitik.
Fenomena ini mirip dengan kritik Platon atas demokrasi. Filsuf Yunani kuno ini memandang bahwa demokrasi adalah rezim kebebasan dan kesetaraan. Ekses dari kebebasan yang kebablasan dan kesetaraan yang tak tahu batas malah memunculkan manusia tiranik.
Manusia tiranik begitu percaya dengan kata-kata dan opininya sendiri. Dengan bekal kebebasan dan kesetaraan, apa pun yang dipikirkan boleh dikatakan serta merta. Tanpa pandang bulu, bahkan terhadap presiden sekali pun, manusia tiranik melibas dengan kritik pedas.
Dalam demokrasi digital, warganet bebas berbicara apa saja. Ruang digital adalah agora bagi aksi demokratis bertindak lewat Facebook, Twitter, WhatsApp group, hingga kanal YouTube. Mungkin Platon tidak membayangkan isegoria atau kesetaraan berbicara di ruang publik menjadi sangat masif di ruang digital.
Berita Terkait
-
Bangun 500 Ribu Tower BTS, Pemerintah Fokus Pemerataan Akses Internet
-
Penuhi Kebutuhan Industri Digital, Binus Luncurkan Program-program Baru
-
KPI: Siaran TV Digital Hadirkan Banyak Channel Baru, Berkah untuk Ibu-ibu
-
Google Ajak Pengguna Peduli Kesehatan Digital lewat Beberapa Fitur Ini
-
Bukan Cuma Modal, UMKM Go Digital Juga Perlu Dukungan Platform Berjualan Online
Terpopuler
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Sunscreen Terbaik Harga di Bawah Rp30 Ribu agar Wajah Cerah Terlindungi
- Siapa Shio yang Paling Hoki di 5 November 2025? Ini Daftar 6 yang Beruntung
- 24 Kode Redeem FC Mobile 4 November: Segera Klaim Hadiah Parallel Pitches, Gems, dan Emote Eksklusif
Pilihan
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
-
Bos Pajak Cium Manipulasi Ekspor Sawit Senilai Rp45,9 Triliun
-
6 Kasus Sengketa Tanah Paling Menyita Perhatian di Makassar Sepanjang 2025
-
6 HP Memori 128 GB Paling Murah Terbaru 2025 yang Cocok untuk Segala Kebutuhan
Terkini
-
Konflik Lahan di Lebak Memanas, DPR Panggil Perusahaan dan KLHK
-
Di Hadapan Buruh, Aher Usul Kontrak Kerja Cukup Setahun dan Outsourcing Dibatasi
-
Aher Terima Curhat Buruh: RUU Ketenagakerjaan Jadi Sorotan, PHK Sepihak Jadi Ancaman
-
Tips Akhir Tahun Ga Bikin Boncos: Maksimalkan Aplikasi ShopeePay 11.11 Serba Hemat
-
Deolipa Tegaskan Adam Damiri Tidak Perkaya Diri Sendiri dalam Kasus Korupsi Asabri
-
Tak Hadir Lagi di Sidang Sengketa Tambang Nikel Haltim, Dirut PT WKS Pura-pura Sakit?
-
Gubernur Pramono Lanjutkan Uji Coba RDF Rorotan Meski Diprotes: Tidak Kapasitas Maksimum
-
Hasto: PDIP Dorong Rote Ndao Jadi Pusat Riset Komoditas Rakyat, Kagum pada Tradisi Kuda Hus
-
Di Rote Ndao, Hasto PDIP Soroti Potensi Wilayah Terluar RI
-
Gelar Pahlawan untuk Soeharto, KontraS: Upaya Cuci Dosa Pemerintah