Suara.com - Junta Myanmar menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Aung San Suu Kyi. Pemerintah dan organisasi internasional mengecam putusan tersebut dan mengatakan Suu Kyi tidak menerima pengadilan yang adil.
Junta Myanmar pada hari Senin (06/12) mengatakan hukuman penjara pemimpin sipil yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, dikurangi menjadi dua tahun yang awalnya empat tahun. Ia dijatuhi hukuman atas dakwaan hasutan terhadap militer dan melanggar pembatasan pandemi, media pemerintah melaporkan.
Mantan Presiden Win Myint juga dijatuhi hukuman dengan tuduhan yang sama, dan sekarang juga dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Junta awalnya memvonis Suu Kyi dan Win hukuman empat tahun penjara, tetapi kemudian mengumumkan pengurangan hukuman.
Media pemerintah menyebutnya sebagai pengampunan parsial dari pimpinan junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.
"Mereka akan menghadapi dakwaan lain dari tempat mereka tinggal sekarang," kata juru bicara junta Myanmar Zaw Min Tun, Senin (06/12).
Ini adalah keputusan pertama sejak penggulingan dan penangkapan Suu Kyi menyusul kudeta militer pada 1 Februari.
Suu Kyi juga menghadapi beberapa dakwaan lain yang bisa membuatnya menghabiskan sisa hidupnya di penjara jika terbukti bersalah dalam semua dakwaan. Amnesti peringatkan 'krisis kemanusiaan' di Myanmar Kepada DW, Emerlynne Gil, Wakil Direktur Penelitian Asia Tenggara Amnesty International, mengatakan bahwa Suu Kyi "jelas tidak menerima pemeriksaan yang adil."
Gil menambahkan bahwa penggunaan taktik penindasan oleh militer untuk menindak lawan-lawannya menunjukkan "betapa tidak tersentuhnya" junta.
Baca Juga: Human Rights Watch Sebut Persidangan Aung San Suu Kyi Tidak Adil
Wakil Direktur Regional Kampanye Amnesty International, Ming Yu Hah, mengatakan bahwa hukuman Suu Kyi atas "tuduhan palsu" adalah "contoh terbaru dari tekad militer untuk melenyapkan semua oposisi dan mencekik kebebasan di Myanmar."
Ming memperingatkan bahwa kekerasan yang sedang berlangsung antara militer dan kelompok-kelompok bersenjata pro-demokrasi akan menimbulkan "krisis kemanusiaan." "Tanpa tanggapan internasional yang tegas, terpadu dan cepat, ini bisa dan akan menjadi lebih buruk," kata Ming dalam siaran persnya.
UE sebut putusan sebagai 'kemunduran besar' bagi Myanmar Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrell, mengatakan pada Senin (06/12) bahwa UE mengecam keras putusan "bermotivasi politik" sebagai "kemunduran besar" bagi demokrasi di Myanmar.
"Ini merupakan langkah lain menuju pembongkaran supremasi hukum dan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di Myanmar," kata Borrell dalam sebuah pernyataan. Ia menambahkan bahwa tindakan militer menunjukkan "penghinaan total terhadap kehendak rakyat" di Myanmar.
"Rakyat Myanmar sangat menolak kudeta militer dan menunjukkan keinginan mereka yang tak tergoyahkan untuk sebuah negara di mana aturan hukum, hak asasi manusia dan proses demokrasi dihormati, dilindungi, dan dijunjung tinggi," kata Borrell. Aye Min Thant, seorang jurnalis Myanmar yang saat ini berbasis di Bangkok, mengatakan kepada DW bahwa keputusan itu kemungkinan akan memperkuat gerakan pro-demokrasi di negara itu. "Sekarang kita telah melihat pemerintahan paralel muncul, kita telah melihat gerakan pembangkangan sipil yang besar," kata Aye.
"Saya tidak berpikir putusan ini mengejutkan kebanyakan orang. Saya pikir orang-orang telah merencanakan untuk melanjutkan perlawanan tanpa Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin," tambah Aye.
Tag
Berita Terkait
-
Dasco Dorong Pemerintah Diplomasi Bebaskan WNI yang Ditahan Junta Myanmar
-
Nyawa Taruhannya, Radio Ini Lawan Junta Myanmar dari Bawah Tanah: Kisah Pendiri Federal FM
-
Myanmar Deportasi 50.000 Penipu Online ke Tiongkok, Minta Bantuan Negara Tetangga
-
Susul Netanyahu, Pemimpin Junta Myanmar Juga Jadi Sasaran Surat Perintah Penangkapan ICC Atas Kekejaman pada Rohingya
-
Gencatan Senjata Gagal, Pemulangan Pengungsi Rohingya dari Bangladesh Tertunda
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
Terkini
-
Kepala BPHL Dicecar Pembangunan Jalan di Kawasan IUP PT WKM, Hakim: Saudara Kok Nggak Bisa Jawab!
-
Anggota DPR Ngamuk! Minta BGN 'Spill' Nama Politisi Peminta Jatah Dapur MBG
-
Gus Yasin 'Sentil' Balik Kubu Mardiono: Aturan AD/ART Sudah Diubah di Muktamar!
-
Cucu Mahfud MD Jadi Korban, Pakar Sebut Keracunan MBG Bukti Kegagalan Sistemik Total
-
Motif Sejoli Tega Buang Bayi di Palmerah, Malu Nikah Siri Tak Direstui
-
PPP Memanas! Kubu Mardiono Klaim Duluan Daftar, Agus Suparmanto Tidak Sah Jadi Ketum?
-
Penganiayaan Jurnalis di Jaktim Berakhir Damai, Pelaku Meminta Maaf dan Tempuh Restorative Justice
-
Eks Dirut PGN Hendi Prio Santoso Ditahan KPK, Diduga Terima Duit Panas Jual Beli Gas
-
Asosiasi Sopir Logistik Curhat ke DPR: Jam Kerja Tak Manusiawi Bikin Penggunaan Doping dan Narkoba
-
Usai Muktamar Ricuh, Kubu Agus Suparmanto Ajak Mardiono Bergabung Demi Lolos Parlemen 2029