Suara.com - Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) kemarin. Namun sejumlah pihak menganggap pengesahan RUU Kesehatan itu terburu-buru mengingat RUU inisiatif DPR RI ini baru saja dibahas tahun lalu.
Sementara itu RUU Kesehatan mendapat pro kontra dalam perjalanan penyusunannya termasuk dari para organisasi profesi (OP). Hal tersebut terjadi lantaran ada perbedaan pendapat pemerintah dengan OP. Simak penjelasan tentang polemik RUU Kesehatan berikut ini.
1. RUU Kesehatan Resmi Jadi UU
Rapat Paripurna DPR RI ke-29 masa sidang V Tahun 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023) resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan menjadi UU. Rapat pengesahan RUU Kesehatan langsung dipimpin Ketua DPR Puan Maharani dengan didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Lodewijk Freidrich Paulus dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem Rachmat Gobel.
Rapat pengesahan itu turut dihadiri Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mewakili pemerintah. Sebanyak 7 dari 9 fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU.
2. Alasan Demokrat dan PKS Tolak Pengesahan
Terdapat dua fraksi yang menyampaikan penolakan terkait pengesahan RUU kesehatan yakni Demokrat dan PKS. Keduanya mengkritik keras penghapusan mandatory spending alias belanja wajib di draf RUU Kesehatan.
Menurut mereka, mandatory spending sebelum direvisi seharusnya ditambah bukan justru dihilangkan dalam UU Kesehatan. Penghapusan mandatory spending dinilai menjadi kemunduran bagi sektor kesehatan.
Selain mandatory spending, pembahasan RUU Kesehatan itu dinilai terkesan buru-buru hingga adanya indikasi liberalisasi sektor kesehatan. Walau ada penolakan, RUU Kesehatan tetap disahkan menjadi UU.
Baca Juga: Menkes Tanggapi Rencana Aksi Mogok Kerja Para Tenaga Medis: Kita Belum Tentu Selalu Sama
3. Respon Menkes Soal Dihapusnya Mandatory Spending
Menkes Budi Gunadi menanggapi keputusan dihapusnya anggaran wajib (mandatory spending) dalam UU Kesehatan. Menurut dia, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai. Sebagai informasi, mandatory spending merupakan pengeluaran negara yang sudah diatur dalam UU.
"Jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak," kata Budi usai menghadiri rapat paripurna pengesahan UU Kesehatan pada Selasa (11/7/2023).
Hilangnya mandatory spending dalam UU Kesehatan memang disoroti oleh banyak pihak. Salah satunya Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang menyebut penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD menjadi ketentuan yang bermasalah.
Begitu juga Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih yang menyebut bahwa realita di lapangan memprihatinkan. Hal itu lantaran prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran.
4. Nakes Ancam Mogok Kerja
Sementara itu massa tenaga kesehatan (nakes) mengancam akan mogok kerja terkait pengesahan RUU Kesehatan oleh DPR. Massa nakes itu tergabung dalam organisasi profesi IDI, PPNI, IBI, IAI dan PDGI.
Walau begitu mekanisme mogok kerja nasional itu tetap memperhatikan posisi vital di rumah sakit. Aksi mogok kerja itu hanya dilakukan untuk bagian-bagian tertentu.
"Kami sudah sepakati mogok kerja kecuali di tempat-tempat critical seperti ICU, gawat darurat, kamar bedah, untuk anak-anak yang emergency, itu tidak kita lakukan," ungkap Arif Fadilah selaku ketua DPP PPNI di depan gedung MPR/DPR Jakarta.
"Tapi yang umum, yang efektif, yang bisa kita rencanakan, yang pilihan itu bisa dilakukan," tambahnya.
Kontributor : Trias Rohmadoni
Berita Terkait
-
Menkes Tanggapi Rencana Aksi Mogok Kerja Para Tenaga Medis: Kita Belum Tentu Selalu Sama
-
Baru Disahkan, UU Kesehatan Bakal Digugat Ke MK
-
Tegas Tolak Pengesahan RUU Kesehatan, Demokrat Persoalkan Masalah Mandatory Spending Dan Liberalisasi Dokter
-
Jokowi Harap RUU Kesehatan Dapat Perbaiki Pelayanan Kesehatan di Tanah Air
-
Rekam Jejak Akademis Menkes Budi Gunadi: Disindir Kebut UU Kesehatan Padahal Bukan Dokter
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Usai Dicopot Prabowo, Benarkah Sri Mulyani Adalah Menteri Keuangan Terlama?
-
Inikah Ucapan yang Bikin Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati Mundur dari Senayan?
-
Suciwati: Penangkapan Delpedro Bagian dari Pengalihan Isu dan Bukti Rezim Takut Kritik
-
Viral Pagar Beton di Cilincing Halangi Nelayan, Pemprov DKI: Itu Izin Pemerintah Pusat
-
Temuan Baru: Brimob Dalam Rantis Sengaja Lindas Affan Kurniawan
-
PAN Tolak PAM Jaya Jadi Perseroda: Khawatir IPO dan Komersialisasi Air Bersih
-
CEK FAKTA: Isu Pemerkosaan Mahasiswi Beralmamater Biru di Kwitang
-
Blusukan Gibran Picu Instruksi Tito, Jhon: Kenapa Malah Warga yang Diminta Jaga Keamanan?
-
DPR Sambut Baik Kementerian Haji dan Umrah, Sebut Lompatan Besar Reformasi Haji
-
CEK FAKTA: Viral Klaim Proyek Mall di Leuwiliang, Benarkah?