- Demokrasi Indonesia dinilai belum tuntas pascareformasi, masih dibayangi mentalitas feodal dan korup
- Diperlukan publik deliberatif serta reformasi partai agar nilai rakyat tidak dikalahkan aturan elite
- Pendidikan politik dianggap kunci untuk membentuk masyarakat sebagai subjek demokrasi yang matang
Suara.com - Demokrasi Indonesia disebut tak pernah benar-benar selesai sejak kejatuhan Orde Baru.
Demokrasi yang diharapkan membawa perubahan, justru dikuasai oleh elite yang tidak punya komitmen memperkuat republik.
“Jadi dari awal kualitas perubahan itu tidak dihasilkan melalui percekapan lengkap, percekapan total. Nah kita cuman mencicil akhirnya nilai demokrasi," ujar Pengamat Politik Rocky Gerung dalam Podcast di akun YouTube Tempodotco, Rabu (17/9/2025.
Sehingga, apakah kita sudah pindah dari reformasi ke demokrasi?
"Belum. Kita baru keluar dari otoritarianisme tetapi belum masuk ke demokrasi. Kan transisi itu dua langkah. Langkah keluar dari, langkah masuk ke itu,” tegasnya.
Menurutnya, karena kemampuan kita untuk, sebut aja memaksakan ide masyarakat sipil ini, tidak dihasilkan secara kimiawi itu.
"Nah itu akibatnya ya mental feodal, mental corrupt carry over ke dalam sistem yang sekarang. Jadi kita memang harus lepaskan itu.,” lanjut Rocky Gerung.
Alih-alih membangun sistem politik yang sehat, mentalitas lama justru diperkuat. Hal ini membuat rakyat semakin tidak percaya pada proses politik dan mudah kecewa terhadap pemerintahan.
Untuk mencegah Indonesia mengalami krisis seperti Nepal, dibutuhkan langkah yang lebih mendasar daripada sekadar mengganti pejabat.
Baca Juga: Indonesia di Ambang Amarah: Belajar dari Ledakan di Nepal, Rocky Gerung dan Bivitri Beri Peringatan!
Sementara itu, Prof. Dr. Robertus Robet, Dosen FISH Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menekankan pentingnya membangun publik yang deliberatif, yakni masyarakat yang mampu berpikir rasional, mendiskusikan ide, dan menyuarakannya dengan efektif.
“Satu publik itu punya tiga ciri. Satu deliberatif. Dia deliberatif. Dia mendiskusikan. Pertama-tama dia mengandalkan rasionalitas. Reason. Bukan rasio. Tapi reason. Itu beda ya. Kalau rasio kan kemampuan kalkulatif. Tapi kalau reason itu kan dia kemampuan untuk memikirkan alternatif yang terbaik untuk kehidupan publik secara umum. Nah itu reason. Public use of reason. Yang kedua ciri dari publik itu adalah baru yang namanya kemampuan deliberatif. Jadi reason itu selalu diturunkan dalam kemampuan deliberatif. Nah yang bentuk praktisnya adalah kapabilitas retori. Republik itu harus punya tiga itu," beber Dosen itu.
Selain itu, reformasi partai politik menjadi hal mendesak untuk memastikan demokrasi berjalan sehat dan mencegah nilai-nilai publik terpinggirkan.
“Jangan sampai publik atau people's value itu kalah terhadap elite rules, jadi aturan elite itu, akhirnya mengalahkan nilai-nilai people ini kan nilai people ini nggak bisa di upload ditindas terus secara hegemonik,” jelas Rocky Gerung.
Selain itu, Prof Dr. Robertus Robet mengingatkan pentingnya pendidikan politik pendidikan politik agar rakyat dapat menjadi subjek demokrasi yang matang.
Ia merujuk pada pemikiran tokoh bangsa seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, yang percaya bahwa kesadaran politik harus dibangun dari basis masyarakat, bukan hanya mengandalkan elite.
“Nah caranya bagaimana? Kalau Hatta Sjahrir dia percaya dengan politik pendidikan ya kan? Tapi kalau belajar dari sejarah reformasi ya itu dibangun di dalam memang aktivisme dalam gerakan mahasiswa itu bisa menghasilkan rakyat yang sadar tugas,” kata Dosen Universitas Negeri Jakarta itu.
“Nah sekarang ada era digital kita ya kan? Pertanyaan kita apakah era digital sekarang ini juga punya kemampuan membelikan pendidikan buat orang Indonesia ini yang katanya begitu besar di dalam media sosial itu,” tambahnya.
Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena
Berita Terkait
-
Berani Mundur Tanpa Diperintah Partai, Sikap Keponakan Prabowo 'Tampar' Anggota DPR Bermasalah
-
Langka! Rocky Gerung Puji Mundurnya Keponakan Prabowo, Sebut Standar Etika Baru Politisi
-
Sadar Diri Sakiti Rakyat, Rocky Gerung Puji Nyali Keponakan Prabowo Mundur dari DPR: Sikap Otentik!
-
Fenomena 'NepoKids' Bikin Murka Gen Z Nepal, Ini 5 Fakta Demo Brutal yang Paksa PM Mundur
-
Nepal Mencekam: 20 Tewas dan PM Mundur, Sekjen PBB Antonio Guterres Turun Tangan
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
-
Emil Audero Jadi Kunci! Cremonese Bidik Jungkalkan Parma di Kandang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
Terkini
-
Wahyudin Moridu Ternyata Mabuk saat Ucap 'Mau Rampok Uang Negara', BK DPRD Gorontalo: Langgar Etik!
-
Indonesia di Ambang Amarah: Belajar dari Ledakan di Nepal, Rocky Gerung dan Bivitri Beri Peringatan!
-
Ganggu Masyarakat, Kakorlantas Bekukan Penggunaan Sirene "Tot-tot Wuk-wuk"
-
Angin Segar APBN 2026, Apkasi Lega TKD Bertambah Meski Belum Ideal
-
Digerebek Satpol PP Diduga Sarang Prostitusi, Indekos di Jakbar Bak Hotel: 3 Lantai Diisi 20 Kamar!
-
Usai Siswa Keracunan Massal, DPR Temukan Ribuan SPPG Fiktif: Program MBG Prabowo Memang Bermasalah?
-
RUU Perampasan Aset Mesti Dibahas Hati-hati, Pakar: Jangan untuk Menakut-nakuti Rakyat!
-
Ucapan Rampok Uang Negara Diusut BK, Nasib Wahyudin Moridu Ditentukan Senin Depan!
-
Survei: Mayoritas Ojol di Jabodetabek Pilih Potongan 20 Persen Asal Orderan Banyak!
-
Sambut Putusan MK, Kubu Mariyo: Kemenangan Ini Milik Seluruh Rakyat Papua!