News / Nasional
Jum'at, 03 Oktober 2025 | 15:38 WIB
Alfatih Cakra Buana (14), seorang santri Ponpes Al-Khoziny, berhasil dievakuasi setelah terkubur selama dua malam. (BBC News Indonesia/Silvano Hajid)
Baca 10 detik
  • Alfatih Cakra Buana (14), seorang santri Ponpes Al-Khoziny, berhasil dievakuasi setelah terkubur selama dua malam
  • Alfatih mengaku sempat mendengar suara tim SAR dan meminum air dari selang yang ia temukan
  • Penyelamatan Alfatih menjadi momen haru bagi ayahnya, Abdul Hannan Ikhsan

Suara.com - Di tengah kegelapan total dan himpitan beton, suara-suara samar dari dunia luar menjadi satu-satunya penanda harapan bagi Alfatih Cakra Buana. Santri berusia 14 tahun itu terkubur hidup-hidup selama dua malam di bawah reruntuhan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, sebelum sebuah keajaiban membawanya kembali ke pelukan keluarga.

Kesaksiannya melukiskan perjuangan antara hidup dan mati, antara sadar dan mimpi, di bawah puing-puing bangunan yang runtuh pada Senin (29/09) sore.

"Terngiang-ngiang suara samar orang-orang dari luar menembus tebalnya reruntuhan, 'Sabar, sabar ya dik'," kenang Alfatih, menirukan suara tim penyelamat yang tak bisa ia lihat sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia, Jumat (3/10/2025).

Dengan sisa tenaga yang ada, ia mencoba merespons. "Saya balas, 'nggih pak, nggih'. Begitu terus, sampai saya pingsan."

Selama hampir 70 jam, dunia Alfatih hanyalah kegelapan pekat. Tubuhnya terjebak dalam posisi merebah miring, tertutup material berpasir. Beruntung, bagian kepalanya tidak sepenuhnya tertimbun, menyisakan sedikit ruang yang memberinya oksigen untuk terus bernapas.

Tragedi bermula saat Alfatih dan santri lainnya tengah salat berjamaah. Getaran hebat tiba-tiba mengguncang musala. Ia sempat berusaha lari, namun takdir berkata lain.

"Ada getaran, lalu (saya) langsung lari dan bangunan runtuh," ucapnya singkat.

Di saat-saat awal, ia masih bisa mendengar suara minta tolong dari beberapa penjuru reruntuhan, sebelum kesadarannya mulai memudar. Batas antara kenyataan dan mimpi menjadi kabur. Dalam kondisi setengah sadar itu, ia merasakan sesuatu yang membantunya bertahan.

"Sempat ada selang air, saya minum, tapi itu terasa seperti mimpi," kata Alfatih.

Baca Juga: Polisi Larang Warga Berkerumun di Reruntuhan Ponpes Al Khoziny: Kasih Kami Kesempatan!

Ia mengaku tak bisa lagi membedakan apakah dirinya sedang sadar atau bermimpi. Badannya kaku, sulit digerakkan, dan ia merasa seolah telah tertidur selama seminggu.

Momen penyelamatan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sebuah suara ketukan membangunkannya dari kondisi antara hidup dan mati.

"Ketika terbangun, ada lubang, dan tim penyelamat," tambahnya.

Tim SAR gabungan yang telah bekerja tanpa lelah berhasil menemukan jalur aman untuk mengevakuasinya.

"Saya disuruh merangkak, lalu bisa keluar, dan langsung masuk ambulans," katanya lagi.

Kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya setelah melihat dunia luar adalah permintaan sederhana yang menyentuh.

"Tolong belikan es," ucapnya kepada para penyelamat.

Di posko evakuasi, tangis Abdul Hannan Ikhsan, ayah Alfatih, pecah pada Rabu (01/10) malam. Panggilan telepon dari Basarnas mengakhiri penantian panjangnya yang penuh kecemasan.

"Saya tidak terbayang, anak saya berada di daftar yang selamat, saya mencoba membaca salawat tak henti," ungkap Hannan dengan suara bergetar.

Selama hampir tiga hari, ia hanya bisa memandangi foto putranya di ponsel dan berdoa.

"Ini hampir 70 jam, anak itu kemungkinan (tidak) bertahan, tapi saya percaya, apabila Alfatih ditakdirkan hidup, pasti akan selamat," ujarnya.

Kini, senyum semringah telah kembali menghiasi wajah keluarga itu. Di ruang perawatan rumah sakit, Hannan duduk di samping putranya, mencoba menghibur dengan candaan ringan.

Sang ibu dengan telaten membersihkan tangan dan kuku Alfatih, seolah tak ingin melepaskan momen kebersamaan yang nyaris direnggut tragedi.

Meski masih tampak lemas, Alfatih sudah bisa merespons dengan mantap saat ayahnya bertanya tentang keinginannya.

"Mau motor dua tak," jawabnya, sebuah permintaan yang disambut senyum lega sang ayah.

Load More