News / Nasional
Rabu, 22 Oktober 2025 | 15:37 WIB
Ilustrasi investasi bodong. [Ist]
Baca 10 detik
  • OJK ungkap fakta ironis bahwa DKI Jakarta masuk dalam tiga besar provinsi dengan laporan kasus investasi bodong terbanyak di Indonesia.
  • Sejak 2017 hingga Juni 2025, tercatat ada 1.107 aduan (12 persen) yang berasal dari Ibu Kota.
  • Secara nasional, total kerugian masyarakat akibat investasi bodong dalam delapan tahun terakhir telah mencapai Rp142,13 triliun.

Suara.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap fakta ironis bahwa DKI Jakarta, sebagai pusat akses informasi, justru masuk dalam tiga besar provinsi dengan laporan kasus investasi bodong terbanyak di Indonesia. Sejak 2017 hingga Juni 2025, tercatat ada 1.107 aduan (12 persen) yang berasal dari Ibu Kota.

"Walaupun di Jakarta akses informasi banyak, tinggal cari di Google legal atau ilegal, tapi ternyata masih mendominasi dalam peringkat tiga besar pengaduan investasi ilegal," kata Kepala Divisi Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK Jabodebek, Andes Novytasary, dalam sebuah podcast di Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Berdasarkan data Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti), Jawa Barat menempati peringkat pertama dengan 1.850 kasus (21 persen), diikuti oleh Jawa Timur dengan 1.115 kasus (13 persen).

Secara nasional, total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal dalam kurun waktu delapan tahun terakhir telah mencapai angka fantastis sebesar Rp142,13 triliun.

Andes menambahkan, sejak 2017 hingga Juni 2025, Satgas Pasti telah menghentikan kegiatan 13.228 entitas ilegal. Dari jumlah tersebut, 1.811 di antaranya merupakan investasi bodong, sementara sisanya adalah pinjaman online ilegal (11.166) dan gadai ilegal (251).

Menurut Andes, ada dua penyebab utama maraknya korban investasi ilegal. Pertama, adanya kesenjangan antara literasi keuangan masyarakat (66 persen) dengan tingkat penggunaan produk keuangan (80 persen).

"Ini menunjukkan masyarakat cenderung lebih dulu menggunakan produk dan layanan keuangan, tapi tidak memahami manfaat dan risikonya," jelasnya.

Penyebab kedua adalah faktor gaya hidup dan tekanan sosial, di mana banyak orang tergiur karena tidak ingin ketinggalan tren atau khawatir dianggap ketinggalan zaman jika tidak ikut berinvestasi. (Antara)

Baca Juga: Jakarta Krisis Lahan Kuburan! Pramono Pertimbangkan Pemakaman Vertikal

Load More