- Setelah 32 tahun, Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh pada 1993, secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah, sebuah bentuk keadilan moral yang telah lama dinantikan
- Marsinah adalah ikon perjuangan buruh melawan represi Orde Baru, di mana ia memimpin aksi menuntut kenaikan upah namun berakhir dengan penculikan dan pembunuhan brutal
- Meskipun gelar pahlawan telah diberikan, kasus pembunuhan Marsinah hingga kini belum sepenuhnya terungkap, dan dalang utama di baliknya belum pernah diadili secara tuntas
Suara.com - Penantian panjang selama 32 tahun akhirnya berbuah keadilan moral. Marsinah, aktivis buruh yang menjadi ikon perlawanan terhadap penindasan, resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin (10/11/2025). Tangis haru ahli waris pecah saat nama Marsinah disebut, menandai pengakuan tertinggi negara atas pengorbanan nyawanya demi hak-hak kaum pekerja.
Penganugerahan yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan ini menjadi momen bersejarah. Kisah tragis buruh pabrik arloji asal Nganjuk yang dibunuh secara keji pada 1993 kini tercatat dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa.
Siapa Marsinah? Wajah Keberanian dari Pabrik Sidoarjo
Lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah adalah wajah buruh biasa dengan semangat luar biasa. Ia bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Meski hanya lulusan SMA, ia dikenal cerdas, vokal, dan tak kenal takut dalam menyuarakan nasib rekan-rekannya.
Namanya mulai dikenal luas saat ia memimpin aksi unjuk rasa dan mogok kerja pada April hingga Mei 1993. Bersama ratusan buruh lainnya, Marsinah menuntut kenaikan upah pokok dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari, sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur saat itu.
Pada 3-4 Mei 1993, ia menjadi salah satu dari 15 perwakilan buruh yang maju bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Perjuangannya tak hanya berhenti di meja perundingan, ia adalah motor penggerak di lapangan.
Perjuangan Dibalas Penyiksaan Brutal
Namun, keberanian Marsinah harus dibayar mahal. Represi aparat menjadi jawaban atas tuntutan para buruh. Puncaknya terjadi pada 5 Mei 1993, ketika Marsinah mendatangi Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang dipanggil dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri.
Itu adalah kali terakhir ia terlihat hidup. Setelah mendatangi Kodim, Marsinah hilang tanpa jejak. Empat hari kemudian, pada 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Hasil autopsi menunjukkan ia mengalami penyiksaan berat sebelum meninggal.
Baca Juga: Ironi Pahlawan Nasional: Marsinah, Korban Orde Baru, Kini Bersanding dengan Soeharto
Pembunuhan brutal ini sontak mengguncang Indonesia dan dunia internasional. Banyak pihak meyakini adanya keterlibatan aparat militer dalam kasus ini, sebuah ciri khas represi era Orde Baru terhadap gerakan pro-demokrasi. Namun, hingga kini, dalang utama di balik pembunuhannya tidak pernah benar-benar terungkap dan diadili secara adil.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Meski jasadnya telah tiada, semangat Marsinah tidak pernah mati. Kematiannya menyulut gelombang solidaritas yang masif dari aktivis perempuan, serikat buruh, mahasiswa, dan lembaga HAM. Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) dibentuk untuk mengawal kasus ini dan menuntut keadilan.
Pada tahun yang sama, ia dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah pengakuan atas perjuangan hak asasi manusianya. Namanya abadi dalam berbagai bentuk karya budaya, mulai dari film Marsinah, Cry Justice (2001), lagu-lagu perlawanan dari band Marjinal dan musisi MasGat, hingga drama monolog Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet.
Setiap tanggal 1 Mei, posternya selalu diusung dalam aksi Hari Buruh, menjadi pengingat abadi bahwa kebebasan berserikat dan upah layak pernah diperjuangkan dengan darah dan nyawa.
Berita Terkait
-
Ironi Pahlawan Nasional: Marsinah, Korban Orde Baru, Kini Bersanding dengan Soeharto
-
Apa Risiko Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto?
-
Profil Sarwo Edhie Wibowo: Mertua SBY yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional
-
Komnas Perempuan Usulkan Empat Tokoh Wanita Jadi Pahlawan Nasional
-
Hanya 8 Persen Perempuan Jadi Pahlawan Nasional, Komnas Perempuan Kritik Pemerintah Bias Sejarah
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
Purbaya Gregetan Soal Belanja Pemda, Ekonomi 2025 Bisa Rontok
-
Terjerat PKPU dan Terancam Bangkrut, Indofarma PHK Hampir Seluruh Karyawan, Sisa 3 Orang Saja!
-
Penculik Bilqis Sudah Jual 9 Bayi Lewat Media Sosial
-
Bank BJB Batalkan Pengangkatan Mardigu Wowiek dan Helmy Yahya Jadi Komisaris, Ada Apa?
-
Pemain Keturunan Jerman-Surabaya Kasih Isyarat Soal Peluang Bela Timnas Indonesia
Terkini
-
Terungkap! Sebelum Ledakan di SMAN 72, Pelaku Tinggalkan Pesan Misterius di Dinding Kelas
-
Ironi Pahlawan Nasional: Marsinah, Korban Orde Baru, Kini Bersanding dengan Soeharto
-
Apa Risiko Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto?
-
KPK Soal Kasus Whoosh: Ada yang Jual Tanah Negara ke Negara
-
Komnas Perempuan Usulkan Empat Tokoh Wanita Jadi Pahlawan Nasional
-
Pemprov DKI Bakal Ganti Nama Kampung Ambon dan Bahari, Stigma Negatif Sarang Narkoba Bisa Hilang?
-
Hanya 8 Persen Perempuan Jadi Pahlawan Nasional, Komnas Perempuan Kritik Pemerintah Bias Sejarah
-
Kisah Rahmah El Yunusiyyah: Pahlawan Nasional dan Syaikhah Pertama dari Universitas Al-Azhar
-
Panggil Dasco 'Don Si Kancil', Prabowo Ingatkan Kader: Manusia Mati Meninggalkan Nama
-
Rektor IPB Arif Satria Resmi Jadi Nakhoda Baru BRIN, Babak Baru Riset Nasional Dimulai