News / Nasional
Senin, 24 November 2025 | 20:21 WIB
Pengukuhan keanggotaan per-divisi Kaukus Parlemen Perempuan Republik Indonesia (KPPRI) masa bakti 2025–2030 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11). (Suara.com/Bagaskara)
Baca 10 detik
  • Titi Anggraini mengukuhkan KPPRI di Senayan, Senin (24/11), menyoroti pentingnya keterwakilan perempuan kuat di parlemen.
  • Permohonan uji materi UU MD3 diajukan perludem karena mengabaikan Putusan MK tentang pengutamaan pimpinan alat kelengkapan dewan.
  • Putusan MK bersifat langsung mengikat; DPR perlu merevisi Tatib dan mendorong fraksi untuk memastikan implementasi kesetaraan gender.

Suara.com - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan pentingnya keterwakilan perempuan yang lebih kuat di parlemen.

Hal itu disampaikan Titi dalam acara pengukuhan keanggotaan per-divisi Kaukus Parlemen Perempuan Republik Indonesia (KPPRI) masa bakti 2025–2030 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11).

Dalam kesempatan itu, Titi memaparkan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 169/PPU-XXII/2024 yang sudah dikabulkan.

Titi menyampaikan apresiasi atas terbentuknya kepengurusan baru KPPRI yang dilengkapi pembagian divisi-divisi kerja.

Ia menilai langkah ini membuka ruang kolaborasi yang selama ini diharapkan kelompok masyarakat sipil untuk memperkuat agenda kesetaraan gender dalam politik.

“Ini seolah-olah menjawab dahaga, karena kami sudah lama mengharapkan bisa berkolaborasi bersama KPPRI untuk memperjuangkan advokasi keterwakilan perempuan, terutama melalui RUU Pemilu, RUU Partai Politik, dan sejumlah RUU strategis lainnya,” ujar Titi di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (24/11).

Ia menjelaskan bahwa permohonan uji materi terhadap Undang-Undang MD3 yang terdaftar sebagai Perkara No. 169/PUU-XXII/2024 bukanlah proses instan.

“Prosesnya satu tahun dari mulai kami mengajukan permohonan sampai putusan dibacakan pada 30 Oktober 2025,” katanya.

Permohonan tersebut diajukan oleh empat pihak, terdiri dari tiga badan hukum publik—Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, dan Yayasan Kaliana Mitra serta satu pemohon perorangan, yakni Titi sendiri sebagai akademisi.

Baca Juga: Sultan Najamudin Tegaskan DPD RI Bukan Oposisi: Siap Dukung Penuh Program Presiden

Mereka merasa perlu mengajukan permohonan karena UU MD3 tidak mengakomodasi Putusan MK No. 82/2014 yang telah lebih dulu menegaskan pentingnya pengutamaan keterwakilan perempuan dalam pengisian pimpinan alat kelengkapan dewan.

“Kami melihat ketidakpatuhan UU MD3 terhadap putusan MK sebelumnya. Padahal sejak 2014 MK sudah menegaskan pengisian pimpinan AKD harus mengutamakan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” ujarnya.

Ketimpangan representasi perempuan makin terlihat jelas setelah pembentukan alat kelengkapan DPR periode 2024–2029. Menurut Titi, hasil pemantauan mereka menunjukkan masih banyak komisi tanpa pimpinan perempuan.

Ia juga menyoroti berbagai pembenaran yang kerap digunakan untuk menyingkirkan perempuan dari posisi strategis, mulai dari isu kompetensi hingga strategi partai.

Ia menilai alasan-alasan tersebut tidak berdasar karena pola penempatan anggota laki-laki di AKD juga tidak menunjukkan keterkaitan dengan latar belakang keilmuan atau profesi.

Titi juga menegaskan putusan MK ini bersifat self-executing sehingga DPR tidak perlu menunggu revisi UU MD3 untuk menjalankannya.

Load More