News / Nasional
Senin, 08 Desember 2025 | 19:08 WIB
Seorang bocah berjalan meniti kayu-kayu yang memenuhi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (5/12/2025). [ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/foc]
Baca 10 detik
  • Banjir dan longsor di Sumatra dipicu deforestasi masif akibat industri ekstraktif dengan pengawasan negara yang lemah.
  • Pakar mendesak audit perizinan, penegakan hukum tegas pada korporasi, dan moratorium izin baru sektor ekstraktif.
  • Pemerintah merespons dengan operasi darurat besar, mengerahkan triliunan rupiah logistik, serta membuka akses vital yang terisolasi.

Suara.com - Di tengah duka menyelimuti Sumatra, sebuah pertanyaan menggema lebih keras dari deru air. Mengapa tragedi ini terus berulang? Dengan korban jiwa mendekati seribu orang, kerugian ekonomi triliunan rupiah, menyalahkan curah hujan ekstrem saja tidak lagi cukup.

Ini bukan takdir, melainkan akumulasi dari kerusakan lingkungan yang sistematis. Data berbicara keras. Deforestasi atau penggundulan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) pada tiga provinsi terdampak telah terjadi secara masif selama dua dekade terakhir.

Lahan yang seharusnya menjadi benteng alami penyerap air hujan telah berubah fungsi. Para ahli dan aktivis lingkungan menunjuk satu biang keladi utama, yakni lemahnya tata kelola dan pengawasan negara terhadap industri ekstraktif.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa bencana ini adalah cerminan dari situasi darurat lingkungan di hampir seluruh provinsi Indonesia.

"Deforestasi yang terjadi di tiga provinsi itu memang didorong oleh masifnya aktivitas industri ekstraktif, baik itu legal ya, maupun ilegal," tegas Uli saat dihubungi Suara.com, Senin (8/12/2025).

Lantas, apa yang harus dilakukan agar tangis akibat banjir tak lagi terdengar setiap musim hujan? Para ahli memetakan sejumlah langkah konkret dan mendesak yang harus menjadi prioritas pemerintah.

1. Audit Total dan Evaluasi Menyeluruh Perizinan

Langkah pertama yang paling fundamental adalah membongkar "dosa masa lalu". Pemerintah didesak untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua perizinan industri berbasis lahan, mulai dari pertambangan, perkebunan sawit, hingga Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Menurut Uli, evaluasi ini adalah kunci untuk membuka pintu penegakan hukum lainnya. Tanpa audit yang transparan, negara tidak akan tahu izin mana yang tumpang tindih, berada di kawasan rawan bencana, atau melanggar aturan.

Baca Juga: Menhut Segel 3 Subjek Perusak Hutan, Total 7 Terkait Banjir Sumatra, Ini Daftarnya

"Karena kalau tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan yang ada di Indonesia maka pengurus negara itu tidak akan bisa melakukan upaya-upaya penegakan hukum lainnya," jelasnya.

Dari hasil evaluasi ini, tindakan tegas harus menyusul, seperti pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti beroperasi di kawasan lindung atau area vital, serta penciutan lahan bagi izin yang sebagian wilayahnya berada di zona rentan bencana.

2. Tagih Tanggung Jawab Korporasi, Jangan Hanya Jadi Macan Kertas

Seorang relawan berdiri di tepi Sungai Nanggang yang meninggi di kawasan permukiman bekas terdampak banjir bandang di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Sabtu (6/12/2025). [ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc]

Setiap undang-undang sektoral, mulai dari UU Lingkungan Hidup, Pertambangan, hingga Perkebunan, sebenarnya telah memuat pasal kewajiban pemegang izin untuk melakukan pemulihan lingkungan, seperti reklamasi pasca-tambang. Namun, aturan ini seringkali hanya menjadi tulisan di atas kertas.

"Pengaturan soal tanggung jawab perusahaan untuk melakukan pemulihan terhadap wilayah yang mereka kelola itu enggak pernah diimplementasikan oleh mereka, dan itu enggak pernah dimonitoring oleh pengurus negara," ungkap Uli.

Negara harus berhenti beralasan kekurangan personel atau anggaran. Pemanfaatan teknologi seperti citra satelit dan sistem monitoring digital bisa menjadi solusi untuk mengawasi kepatuhan korporasi secara ketat.

Load More