News / Nasional
Rabu, 10 Desember 2025 | 18:39 WIB
Ilustrasi Silfester Matutina. (Tim Grafis Suara.com)
Baca 10 detik
  • Silfester Matutina, terpidana kasus fitnah sejak 2019, belum dieksekusi meskipun putusan MA sudah inkracht.
  • Kasus ini berawal dari orasi 2017 menuding Jusuf Kalla terkait isu SARA dan korupsi keluarga pada Pilkada DKI.
  • Kegagalan eksekusi menimbulkan persepsi hukum tidak objektif, diduga akibat kedekatan terpidana dengan kekuasaan politik.

Suara.com - Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh setiap 9 Desember menjadi momen ironi yang menampar wajah penegakan hukum di Indonesia. Saat semangat antikorupsi digelorakan, publik justru disuguhi 'drama' seorang terpidana yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht sejak 2019, namun hingga kini masih bebas melenggang.

Dia adalah Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap selama bertahun-tahun.

Kasus ini menjadi preseden buruk yang mempertontonkan bagaimana putusan pengadilan tertinggi bisa terabaikan, memunculkan pertanyaan, mengapa Silfester Matutina belum juga dieksekusi dan benarkah ada manusia yang kebal hukum di republik ini?

Jejak Kasus

Timeline kasus Silfester Matutina. (Suara.com/Emma)

Untuk memahami kejanggalan ini, kita perlu menarik mundur ke tahun 2017. Silfester Matutina dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla.

Laporan itu dipicu oleh orasi Silfester yang dinilai berisi fitnah dan pencemaran nama baik.

Dalam orasinya, Silfester menuding JK menggunakan isu SARA untuk memenangkan Anies-Sandi pada Pilkada DKI 2017 dan mengaitkannya dengan kepentingan korupsi keluarga.

"Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla... untuk kepentingan korupsi keluarga Jusuf Kalla," demikian kutipan orasi yang membawanya ke meja hijau.

Proses hukum berjalan hingga puncaknya pada 20 Mei 2019, saat Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis kasasi yang memperberat hukumannya menjadi 1 tahun dan 6 bulan penjara. Putusan ini final dan mengikat.

Baca Juga: Roy Suryo Klaim Siap Diperiksa Sebagai Tersangka Ijazah Jokowi, Sindir Kasus Silfester Matutina

Namun, eksekusi yang menjadi wewenang Kejaksaan tak kunjung dilaksanakan. Berbagai dalih mengemuka.

Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Anang Supriatna, sempat beralasan bahwa penundaan eksekusi terjadi karena pandemi Covid-19. Sebuah alasan yang dianggap publik tidak cukup kuat untuk menunda kewajiban hukum selama bertahun-tahun.

Kasus ini kembali meledak ke permukaan saat pakar telematika Roy Suryo, yang dilaporkan oleh Silfester atas dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, balik "menyerang".

Roy Suryo mengingatkan publik bahwa Silfester adalah seorang terpidana yang belum dieksekusi. Sejak saat itu, sorotan tajam kembali mengarah pada Silvester dan Kejaksaan.

Manuver Hukum dan Drama yang Tak Berujung

Di tengah desakan publik, Silfester sempat mengklaim telah berdamai dengan Jusuf Kalla. Klaim yang tak relevan, karena dalam hukum pidana, perdamaian tidak bisa menggugurkan eksekusi vonis yang telah inkracht.

Ia juga sempat mencoba manuver hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Langkah ini pun penuh kejanggalan. Idealnya, seorang terpidana yang mengajukan PK harus sedang menjalani masa hukuman. Namun, Silfester yang belum sehari pun dipenjara, tetap bisa mengajukan PK.

Drama berlanjut ketika ia dua kali absen dalam sidang PK yang diajukannya sendiri, hingga hakim akhirnya menggugurkan permohonan tersebut.

Kubu Roy Suryo bahkan telah mendatangi Kejaksaan Agung, mengadukan lambatnya kinerja Kejari Jakarta Selatan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas). Namun, hingga detik ini, Silfester belum juga dieksekusi.

Dosa Jariyah Penegakan Hukum

Ilustrasi Silfester Matutina. (Tim Grafis Suara.com)

Mandeknya eksekusi ini mengundang analisis tajam dari para pakar hukum. Kuat dugaan, posisi Silfester sebagai pentolan relawan pendukung penguasa, baik pada Pilpres 2019 maupun 2024, menjadi "tameng" yang membuatnya sulit disentuh.

Pakar hukum dari Universitas Taruma Negara (Untar), Hery Firmansyah, menegaskan bahwa aparat penegak hukum seharusnya objektif dan menjalankan prosedur tanpa pandang bulu.

Kegagalan mengeksekusi Silfester bisa menjadi cerminan buruk tidak hanya bagi hukum, tetapi juga bagi tatanan sosial.

Masyarakat bisa berasumsi bahwa hukum bisa dinegosiasikan jika seseorang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

“Nah ini kan tentu menjadi sesuatu hal yang tidak baik dengan praktik penegakan hukum. Baik sekarang ataupun masa yang akan datang, karena ini akan menjadi dosa jariyah dalam tanda petik,” kata Hery kepada Suara.com, Rabu (10/12/2025).

Menurutnya, Kejaksaan sebagai eksekutor wajib melaksanakan putusan pengadilan. Jika tidak, maka timbul pertanyaan besar mengenai integritas lembaga tersebut.

Aparat harus bertindak layaknya patung dewi keadilan yang matanya tertutup, menilai secara objektif tanpa subjektivitas.

“Patung dewi keadilan itu matanya gak kebuka berati dia menilai itu secara objektif tidak ada subjektif,” ucapnya.

Jika terus dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk yang melegitimasi dugaan adanya penyalahgunaan wewenang.

Ketika aparat yang diberi mandat oleh undang-undang justru tidak melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini putusan pengadilan, maka tindakan itu sama saja dengan melawan hukum itu sendiri.

“Ketika dia tidak melakukan, hak dan kewajiban yang diperintahkan menurut Undang-undang, sama saja menentang Undang-undang karena tidak melaksanakan putusan pengadilan tadi,” tandasnya.

Load More