- Pemilu 2029 diprediksi akan didominasi pemilih muda Gen Z dan Milenial, menghadapi tantangan besar dari manipulasi konten AI seperti *deepfake*.
- Ancaman utama adalah penyebaran disinformasi yang *hyper-personalized* melalui *deepfake* dan *voice cloning*, berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap informasi benar.
- Solusinya mencakup regulasi digital, pembentukan Satgas Forensik Digital, serta peningkatan literasi digital aplikatif bagi pemilih muda melalui platform populer.
“The Liar's Dividend adalah bahayanya: bukan hanya orang percaya pada berita bohong, tetapi orang menjadi tidak percaya pada berita benar. Deepfake bisa menggerus kepercayaan publik terhadap media kredibel. Politisi yang tertangkap basah melakukan kesalahan bisa berkilah: ‘Itu serangan AI/Deepfake,’” kata Septiaji kepada Suara.com, Kamis (11/12/2025).
Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza, menilai Pemilu 2029 berpotensi menjadi ajang kompetisi narasi yang lebih ditentukan oleh kecanggihan algoritma daripada gagasan politik. Teknologi AI mampu memproduksi konten palsu yang sulit dibedakan oleh masyarakat awam, termasuk pemilih muda, sehingga ruang disinformasi bisa menjalar lebih cepat sementara institusi negara masih lambat memverifikasi informasi.
“Deepfake dan AI bukan sekadar merusak reputasi kandidat, tetapi menggerus kepercayaan publik sehingga kebenaran semua informasi politik diragukan. Politik bisa dianggap hanya soal merebut dan mempertahankan kekuasaan, dan ancamannya bisa menimbulkan konflik di tingkat akar rumput,” tutur Efriza.
Strategi Preventif: Regulasi dan Satgas Forensik Digital
Menanggapi tantangan tersebut, Septiaji memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang dan KPU, termasuk menambahkan pasal tentang rambu-rambu ruang digital dan pemanfaatan AI dalam revisi undang-undang pemilu.
“Melarang penggunaan AI generatif untuk kampanye 90 hari sebelum pemilu, baik untuk promosi maupun menyerang lawan politik, dengan sanksi bagi parpol maupun kandidat,” ujar Septiaji.
Selain itu, perlu dibentuk Satgas Forensik Digital yang bekerja sama dengan pemeriksa fakta, media, dan akademisi untuk memverifikasi deepfake secara real-time. Satgas ini diharapkan terhubung langsung dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan platform digital.
Efriza menyoroti peran Komdigi dalam upaya preventif manipulasi informasi. Ia menilai perlu dibangun kerangka regulasi yang jelas mengenai standar verifikasi konten digital, kewajiban watermarking untuk konten politik resmi, serta sanksi tegas bagi produksi dan distribusi deepfake.
Secara teknis, perlu kemitraan strategis dengan pengelola platform digital dan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem deteksi otomatis yang bekerja sebelum konten viral. Selain itu, kolaborasi dengan jurnalis bisa membantu publik memahami analisis konten hoaks.
Baca Juga: Pengamat UGM Nilai Jokowi Melemah dan Kaesang Tak Mampu, Mimpi PSI Tembus Senayan 2029 Bakal Ambyar?
Pendidikan Pemilih Muda dan Literasi Digital
Tidak hanya dari regulasi, pendidikan pemilih pemula menjadi peran penting. Literasi digital harus lebih aplikatif dan sesuai karakter Milenial dan Gen Z yang visual, cepat, dan interaktif. KPU bisa memanfaatkan platform akrab bagi Gen Z, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, dengan konten singkat, jelas, dan berbasis contoh nyata.
Kerja sama dengan satuan pendidikan formal dan komunitas kreator konten juga perlu dilakukan untuk menghasilkan simulasi interaktif tentang bagaimana AI dapat memalsukan suara, gambar, atau video. Gen Z cenderung percaya edukasi dari sesama pengguna atau influencer kredibel, sehingga pendekatan ini dianggap efektif.
Masukan serupa disampaikan Septiaji terkait peran influencer. Namun, influencer juga perlu dilatih untuk menyaring informasi hoaks maupun deepfake.
Terakhir, pendidikan pemilih muda bisa dilengkapi dengan metode probunking atau inokulasi, yaitu program edukasi dan gamifikasi untuk melatih kemampuan berpikir kritis Gen Z terhadap isu-isu pemilu.
Pemilu 2029 bukan sekadar ajang politik, tetapi juga ujian bagi demokrasi digital Indonesia. Dengan persiapan regulasi yang matang, satgas forensik digital, literasi pemilih yang meningkat, serta peran aktif influencer dan komunitas, kita memiliki peluang menjaga kepercayaan publik tetap tinggi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Sepatu Lokal Senyaman On Cloud Ori, Harga Lebih Terjangkau
- 5 Body Lotion Niacinamide untuk Cerahkan Kulit, Harganya Ramah Kantong Ibu Rumah Tangga
- Menguak PT Minas Pagai Lumber, Jejak Keluarga Cendana dan Konsesi Raksasa di Balik Kayu Terdampar
- 5 HP Murah Terbaik 2025 Rekomendasi David GadgetIn: Chip Mumpuni, Kamera Bagus
- 55 Kode Redeem FF Terbaru 9 Desember: Ada Ribuan Diamond, Item Winterlands, dan Woof Bundle
Pilihan
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
-
PT Tusam Hutani Lestari Punya Siapa? Menguasai Lahan Hutan Aceh Sejak Era Soeharto
-
Harga Minyak Melonjak: AS Sita Kapal Tanker di Lepas Pantai Venezuela
Terkini
-
Korban Tewas Bencana di Agam Tembus 192 Orang, 72 Masih Hilang
-
MKMK Tegaskan Arsul Sani Tak Terbukti Palsukan Ijazah Doktoral
-
Polisi Kembali Lakukan Olah TKP Terra Drone, Apa yang Dicari Puslabfor?
-
MyFundAction Gelar Dapur Umum di Tapsel, Prabowo Janji Rehabilitasi Total Dampak Banjir Sumut
-
Ikuti Arahan Kiai Sepuh, PBNU Disebut Bakal Islah Demi Akhiri Konflik Internal
-
Serangan Kilat di Kalibata: Matel Diseret dan Dikeroyok, Pelaku Menghilang dalam Sekejap!
-
10 Saksi Diperiksa, Belum Ada Tersangka dalam Kasus Mobil Berstiker BGN Tabrak Siswa SD Cilincing
-
Pesan Menag Nasaruddin di Hakordia 2025: ASN Kemenag Ibarat Air Putih, Tercemar Sedikit Rusak Semua
-
Bela Laras Faizati, 4 Sosok Ini Ajukan Diri Jadi Amicus Ciriae: Unggahan Empati Bukan Kejahatan!
-
Mendagri Instruksikan Pemda Evaluasi Kelayakan Bangunan Gedung Bertingkat