News / Nasional
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:45 WIB
Ilustrasi UMP 2026 vs KHL. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Formula UMP 2026 yang baru menggunakan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan faktor alfa, diserahkan penetapannya kepada gubernur daerah.
  • Kelompok buruh menilai formula baru berpotensi menaikkan upah sangat minim, tidak menjamin Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja.
  • ASPIRASI menuntut peninjauan ulang formula dan pemerintah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok sebelum penetapan UMP.

Suara.com - Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 kembali memantik api perdebatan lama: soal siapa yang paling dikorbankan dalam hitung-hitungan ekonomi negara. Di tengah janji rumus baru yang diklaim lebih adil dan fleksibel, kelompok buruh justru melihat bayang-bayang masalah lama—upah naik tipis, harga hidup terus meroket.

Alih-alih jadi angin segar, formula baru UMP 2026 dinilai berpotensi membuat pekerja tetap “sesak napas” di tengah biaya hidup yang kian tak ramah.

Dengan formula penghitungan berupa kombinasi tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi beserta faktor pengali berupa alfa, besaran kenaikan UMP tidak lagi ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia.

Penetapan kenaikan UMP nantinya diambil oleh masing-masing gubernur di berbagai wilayah, sesuai rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.

Kontroversi UMP 2026

Cara penghitungan baru upah minimum untuk tahun 2026 langsung disambut nada kekecewaan dari kelompok buruh.

Salah satunya datang Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), yang terang-terangan menyebut formula penghitungan baru sama sekali tidak menjamin kesejahteraan pekerja.

"Rumus tersebut tidak mencerminkan dan tidak menjamin terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja dan keluarganya," kata perwakilan ASPIRASI, Mirah Sumirat, Rabu (17/12/2025).

Infografis Rumus UMP 2026. (Suara.com/Emma)

Kelemahan Rumus UMP 2026

Baca Juga: Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya

Rumus penetapan UMP 2026, yang didasarkan pada revisi regulasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai punya banyak kelemahan.

Teknis formula yang diusulkan pemerintah malah dinilai belum sepenuhnya mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh, karena variabel pengalinya di rentang 0,5 sampai 0,9 dianggap terlalu kecil untuk mengejar kenaikan harga barang pokok.

Hal itu berisiko menghasilkan kenaikan upah yang sangat minim, bahkan di bawah tingkat inflasi riil yang dirasakan pekerja.

Bahkan, implementasi rumus tertentu dalam PP Pengupahan dikhawatirkan dapat menyebabkan upah minimum di beberapa daerah tidak mengalami kenaikan sama sekali, jika pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut stagnan.

"Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi secara jelas menyatakan bahwa upah minimum harus mengandung prinsip KHL, keadilan, dan kemanusiaan, bukan sekadar pendekatan teknokratis berbasis angka makroekonomi," jelas Mirah Sumirat.

Mengenal Kebutuhan Hidup Layak (KHL)

Load More