Otomotif / Mobil
Senin, 24 November 2025 | 13:54 WIB
New Toyota Veloz Hybrid diluncurkan pada ajang Gaikindo Jakarta Auto Week atau GJAW 2025 di ICE, BSD Tangerang, Jumat (21/11/2025). [Antara]
Baca 10 detik
  • Ekonom LPEM UI, Riyanto, menyatakan insentif kendaraan listrik perlu adil dengan fokus pada reduksi emisi dan TKDN.
  • Insentif saat ini dinilai tidak setara, sebab mobil listrik impor menikmati pembebasan pajak lebih besar dibanding hybrid lokal.
  • Pemerintah didorong memperkuat insentif kendaraan hybrid karena kontribusi produksi lokalnya terhadap penyerapan tenaga kerja.

Suara.com - Pemerintah perlu menerapkan insentif untuk kendaraan berbasis listrik, seperti battery electric vehicle (BEV) dan hybrid EV (HEV), dengan prinsip yang setara, demikian disampaikan Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Riyanto.

Ia mengatakan saat ini insentif untuk mobil hybrid belum setara dan adil, terutama untuk yang diproduksi di dalam negeri. Apa lagi insentif mobil listrik banyak dinikmati oleh mobil listrik yang diimpor utuh dari luar negeri.

"Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Insentif untuk HEV saat ini belum fair,” kata Riyanto dalam pernyataan di Jakarta, Senin (24/11/2025).

Saat ini insentif yang diberikan untuk BEV yakni berupa pembebasan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) nol persen dengan tujuan untuk tes pasar, namun yang menikmati insentif itu kebanyakan kendaraan listrik impor.

Sedangkan kendaraan hybrid yang diproduksi di dalam negeri hanya mendapat insentif serupa 3 persen.

Menurut dia, dorongan terhadap insentif kendaraan hybrid juga menjadi relevan karena semakin banyak produsen yang telah merakit model hybrid secara domestik dengan TKDN yang cukup tinggi.

Honda misalnya, kini merakit HR-V e:HEV di pabriknya di Karawang, Wuling Indonesia memproduksi Almaz Hybrid di Bekasi, dan terbaru Toyota resmi merakit Veloz Hybrid secara lokal.

Kehadiran model-model hybrid rakitan lokal ini telah menyerap ribuan tenaga kerja, mulai dari lini produksi, rantai pasok komponen, hingga sektor logistik dan penjualan.

Menurut dia, aktivitas produksi yang terus meningkat ini berkontribusi langsung pada perputaran ekonomi nasional, terutama karena rantai pasoknya lebih panjang dibanding kendaraan impor utuh.

Baca Juga: Resmi Meluncur Harga Veloz Hybrid Tak Sampai Rp 300 Juta

Dirinya memperkirakan prospek kendaraan hybrid pada 2026 akan lebih baik dibandingkan tahun ini, terutama setelah insentif untuk BEV berstatus impor utuh atau completely built-up (CBU) berakhir.

“Yang jelas tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini, karena tahun ini BEV CBU yang penjualannya menggerus pasar BEV CKD dan juga HEV. Estimasi saya kalau HEV bisa 5 persen market share-nya. Beberapa pemain yang tadinya hanya menjual BEV akan menawarkan HEV, jadi akan banyak variasi model dari yang kecil sampai yang besar,” ujar Riyanto.

Lebih lanjut, Riyanto menilai bahwa kendaraan listrik murni dan hybrid akan memiliki segmentasi pasar yang berbeda. Pasar daerah cenderung akan lebih menerima kendaraan hybrid, faktornya karena belum seluruh wilayah memiliki kesiapan dalam fasilitas BEV.

Oleh karena itu, pemerintah layak untuk memperpanjang sekaligus memperkuat kebijakan insentif bagi produsen hybrid, terutama jika mampu meningkatkan kandungan lokal dalam proses produksinya.

Sementara itu, Pengamat Otomotif Bebin Djuana menilai insentif untuk kendaraan elektrifikasi lain seharusnya mendapat perhatian lebih besar dari sisi kebijakan fiskal.

“Jika fokus kita pada emisi tentunya hybrid perlu diperhitungkan, bukan hanya BEV. BEV memang tidak menyumbang emisi, sedangkan hybrid mengurangi emisi, pada saat yang sama juga mengurangi pemakaian BBM. Sudah sepatutnya pajaknya dikurangi. Jika hal ini terjadi tentu market hybrid akan meningkat,” kata Bebin.

Load More