- Pejabat AS mengklaim Indonesia menarik komitmen dagang yang sudah disepakati pada Juli 2025, namun Indonesia membantah ada masalah substantif.
- Dua klausul utama diperdebatkan: pembatalan sepihak dan larangan penggunaan kapal buatan China untuk ekspor.
- Kegagalan negosiasi berpotensi merugikan ekspor Indonesia ke AS, tujuan ekspor terbesar kedua senilai $25,56 miliar.
Suara.com - Negosiasi tarif dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia menghadapi ketidakpastian setelah pejabat AS baru-baru ini mengeklaim bahwa Jakarta telah menarik kembali sebagian komitmen yang sebelumnya disepakati dalam perjanjian dagang pada Juli 2025.
"Mereka mengingkari apa yang telah kita sepakati pada bulan Juli," ujar pejabat AS yang tidak mau disebutkan namanya, dikutip dari Reuters pada 10 Desember.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, pekan lalu turut menyentil isu ini dengan menyebut Indonesia "mulai sedikit membangkang" dalam negosiasi, meskipun ia tidak memberikan detail lebih lanjut.
Meski pemerintah Indonesia membantah keterangan AS, tapi dinamika ini memicu pertanyaan apa yang akan terjadi jika perundingan ini gagal? Apa yang memicu rusaknya perjanjian dagang? Dan yang tak kalah penting, apa dampaknya untuk Indonesia?
Dua Klausul Kunci
Menjawab tudingan AS, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa proses negosiasi berjalan normal dan belum ada persoalan substantif yang muncul.
"Dinamika dalam proses perundingan merupakan hal yang wajar. Pemerintah Indonesia berharap bahwa kesepakatan dapat segera tercapai dan menguntungkan kedua pihak," kata Haryo Limanseto dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian).
Sumber lain dari pemerintah Indonesia menyebutkan isu yang ada hanyalah terkait harmonisasi bahasa dalam teks perjanjian.
"Perundingan dagang Indonesia dan Amerika Serikat masih berproses, tidak ada permasalahan spesifik dalam perundingan yang dilakukan, dinamika dalam proses perundingan adalah hal yang wajar," kata Haryo.
Baca Juga: Pemerintah Optimistis Negosiasi Tarif dengan AS Rampung Sebelum 2025 Berakhir
Tetapi laporan Bloomberg pekan lalu menunjukkan bahwa Indonesia keberatan dengan klausul-klausul yang membolehkan AS untuk membatalkan perjanjian dagang, jika Jakarta melakukan kesepakatan dengan negara lain yang bisa merugikan AS.
Klausul ini dinilai akan menghambat hubungan dagang Indonesia dengan salah satu mitra dagang utamanya, China dan Rusia, terutama terkait komoditas mineral kritis serta energi.
Faktor lain, yang mencuat pada Oktober lalu adalah salah satu klausul yang melarang Indonesia menggunakan kapal berbendera China atau buatan China untuk mengirim barang ekspor.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan permintaan itu tak bisa dipenuhi Indonesia, karena akan membuat ongkos perdagangan Indonesia lebih mahal hingga 30 persen.
"Misalnya, dia melarang untuk menggunakan kapal berbendera China atau buatan China. Saya bilang sama Lutnick, kalau kita pakai itu, pasti harganya mahal dan nanti melanggar peraturan kami, undang-undang kami. Itu masih jadi perdebatan juga," beber Luhut yang menceritakan percapakannya dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick.
Apa yang Disepakati?
Berita Terkait
-
Mendag Pastikan Negosiasi Tarif dengan AS Masih Berjalan
-
Neraca Perdagangan Surplus Selama 66 Bulan Beruntun, Apa Pemicunya?
-
Insentif Otomotif 2026 Belum Jelas, Pemerintah Klaim Industri Sudah Kuat
-
Kementerian ESDM Buka Peluang Impor Gas dari AS untuk Penuhi Kebutuhan LPG 3Kg
-
Indonesia Catat Surplus Neraca Perdagangan US$19,48 Miliar di Semester I 2025
Terpopuler
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
-
Statistik Suram Elkan Baggott Sepanjang 2025, Cuma Main 360 Menit
Terkini
-
Purbaya Sentil Balik Bank Dunia soal Defisit APBN: Jangan Terlalu Percaya World Bank!
-
Bank Mandiri Dorong Akselerasi Inklusivitas, Perkuat Ekosistem Kerja dan Usaha Ramah Disabilitas
-
Purbaya Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Capai 3% Buntut Penurunan Suku Bunga The Fed
-
SIM Mati Bisa Diperpanjang? Ini Syarat Terbaru dan Biayanya
-
LPDB Dorong Koperasi Pondok Pesantren Jadi Mitra Strategis Koperasi Desa Merah Putih
-
Minim Sentimen, IHSG Berakhir Merosot ke Level 8.618 Hari Ini
-
Rundown dan Jadwal Ujian CAT PPPK BGN 2025 18-29 Desember 2025
-
ESDM Mulai Jalankan Proyek Pipa Gas Dusem, Pasok Energi dari Jawa ke Sumatera
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Riset: Banyak Peminjam Pindar Menderita Gunakan Skema Pembayaran Tadpole