Suara.com - Isu agama dan etnis hampir selalu muncul menjelang pilkada di era reformasi. Bahkan di Ibu Kota Jakarta yang notabene dihuni oleh masyarakat yang terdiri dari lintas suku, agama, ras dan golongan.
Padahal, menurut hasil survei, isu semacam itu sebenarnya sudah tak laku lagi untuk menurunkan elektabilitas lawan politik. Jakarta pernah membuktikan di pilkada tahun 2012, isu agama dan etnis tak sanggup menjegal langkah pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menang. Publik sekarang sudah cerdas. Mereka tak menjadikan latar belakang agama sebagai tolak ukur memilih calon pemimpin.
Tetapi kenapa isu tak laku masih tetap didengungkan? Bagaimana sejarahnya?
Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Antonius Benny Susetyo menceritakan sejarah politik di Indonesia modern hampir tak pernah lepas dari isu SARA. Isu tersebut, kata Benny, biasanya muncul ketika partai peserta pemilu tidak lagi mengedepankan ideologi. Isu agama dan etnis muncul ketika para kandidat dan pendukung lebih mementingkan kemenangan dibandingkan hal dasar yang harus mereka perjuangkan.
"Sekarang ini kan, partai yang sifatnya masih kekanak-kanakan, karena partai sekarang ini lebih pada figurkan, bukan pada agenda dan ideologi yang menjadi hal yang diperjuangkan. Kalau dulu, partai-partai punya ideologi, dan berpihak kepada masyarakat, ada yang perjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, orang kecil. Mereka waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya. maka semua partai punya ideologi," kata Benny kepada Suara.com, Senin (10/10/2016).
Menurut Benny penyebab pendekatan isu SARA masih dipakai jelang pemilu adalah karena Indonesia masih berkiblat pada demokrasi Amerika Serikat. Sosok kandidat yang menjadi perhatian, sementara ideologi dihilangkan.
Padahal, kata Benny, seharusnya setiap partai tetap konsisten berjuang dengan dasar ideologi masing-masing. Dengan demikian, akan terpenuhi keinginan masyarakat karena yang diperjuangkan adalah kepentingan rakyat.
"Sekarang berbeda, karena ini zamannya demokrasi kita itu sama seperti model Amerika, maka figur yang dipentingkan, maka pendekatan lebih pada pemasaran. Nah, kalau pemasaran politik pakai figur, nah problemnya lawan politik selalu menggunakan agama untuk menjadikan jargon politiknya. ini yang sebenarnya tidak sehat, karena di sini sebenarnya mereka tidak bisa membaca keinginan rakyat," katanya.
Benny kemudian membandingkan dengan situasi pemilu pertama di Indonesia yang diselenggarakan tahun 1955. Ketika itu, katanya, tidak ada isu SARA yang dipakai untuk menyerang lawan. Mereka bicara tentang program kerja. Menurut pastor dan aktivis ini, politik pada masa itu penuh etika.
"Partai dulu dengan yang sekarang perbedaannya sangat mendasar. Pada waktu itu partai agama itu tidak berbicara agama. Partai Katolik, partai Masyumi, semua berbicara tentang program, kalau kita lihat pemilu 1955, itu pemilu yang paling demokratis, karena kita lihat di situ perdebatan, orang adu program, adu perencanaan, mereka memiliki namanya etika berpolitik, meskipun mereka menggunakan partai agama, tetapi mereka mengedepankan yang disebut politik akal sehat itu," kata Benny.
Perdebatan-perdebatan yang terjadi pada masa itu lebih kepada hal-hal yang mendasar bagi kepentingan khalayak.
"Maka kalau kita lihat perdebatan mereka itu panjang, karena perdebatan mereka itu menggunakan argumentasi. Jadi Tahun 1955 itu demokrasi dan perdebatan yang memang substansial. Nah, pada waktu isu SARA itu tidak pernah laku, karena publik Indonesia sadar bahwa isu SARA itu tidak mampu membawa kontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Benny menegaskan dulu dan sekarang isu SARA tidak pernah laku. Masyarakat umumnya berpikir rasional.
“Rakyat itu akan memilih calon-calon yang pertama memiliki rekam jejak yang baik. Kedua, anti korupsi, ketiga, adalah orang yang menyejahterakan, keempat adalah orang yang mau bekerja, dan kelima adalah orang yang memiliki kualitas dalam leadership-nya,” kata Benny.
“Jadi isu SARA itu sendiri tidak perlu ditakutkan, karena dalam sejarah kita sejak tahun 1955 itu tidak pernah menang, dan isu SARA itu tidak pernah laku, karena rakyat Indonesia itu rasional, tidak emosional," Benny menambahkan.
Isu sekarang yang muncul jelang pilkada tahun 2017, menurut Benny, muncul lebih pada asalan tidak adanya visi misi yang jelas dari para peserta pilkada.
Faktor penyebab yang lainnya adalah tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan masalah yang ada.
"Isu SARA itu sebenarnya menunjukkan para calon itu tidak memiliki kepercayaan diri. Karena kalau dia menggunakan isu SARA itu dia hanya membakar emosional. Akibatnya timbul konflik, dan itu sebenarnya mengancam eksistensi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu kebhinekaan,” katanya.
Menurut Benny jika peserta pilkada percaya diri dan punya program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tentu mereka meninggalkan isu agama dan etnis.
“Kalau para calon itu percaya diri, punya program unggulan, kemudian memiliki yang namanya tawaran-tawaran solusi terhadap persoalan, kemudian memiliki sebuah agenda yang jelas, maka semua calon itu memiliki kepercayaan diri, sehingga bicara dengan agenda, agenda yang jelas, apa yang ditawarkan kepada masyarakat Jakarta, kepada publik. Kalau isu SARA itu terus dimainkan, berarti para calon ini tidak punya visi, dan misi tentang perubahan apa yang ditawarkan kepada masyarakat," katanya.
Benny menyarankan peserta pilkada Jakarta lebih baik bersaing sehat. Menghindari pecah belah. Dengan cara adu program dengan lawan politik.
Memakai isu SARA, menurut Benny, hanya akan memperkeruh keadaan. Benny mengatakan peserta pilkada tidak usah risau, publik pasti memilihnya jika memang bisa meyakinkan akan mampu bekerja sebaik-baiknya.
“Nggak apa-apa (ada reaksi tokoh agama berbeda-beda), tapi masyarakat kan sudah cerdas dan matang. Nggak perlulah kita perhatikan ke masyarakat, justru nanti integritas cendekiawan dan tokoh agama itu sendiri yang merosot di mata publik. Nggak usah terlalu khawatirlah, rakyat itu sudah cerdas," kata Benny.
Kepada masyarakat Jakarta, lulusan jurusan Filsafat dan Teologi di Widya Sasana Malang tahun 1996 tersebut berharap jangan terprovokasi. Jangan ikut-ikutan merespon lemparan isu agama dan etnis. Masyarakat harus tetap pintar.
"Kita tidak perlu terlalu menanggapi isu SARA-nya, yang kita kita mau sekarang adalah masing-masing calon menawarkan agenda perubahannya apa, bagaimana mencari solusi terhadap persoalan yang terjadi. Jadi ukurannya itu pada agenda, masing-masing harus mampu memiliki agenda, maka pertarungannya agenda, karena menurut saya isu SARA itu sudah selesai, dan rakyat juga tidak usah terlalu merespon juga," kata Benny.
Pengajar filsafat di STF Driyarkara Franz Magnis Suseno menambahkan isu SARA tidak akan pernah hilang dari dinamika politik, dunia, bahkan Indonesia.
"Mungkin tidak akan hilang tapi akan berkurang. Ambil contoh Amerika Serikat, butuh 160 tahun sampai orang Katolik pertama bisa menjadi presiden, John F. Kennedy. Waktu dia jadi Presiden, di AS banyak orang protestan di AS yang histeris karena banyak yang mengira, AS akan dijual ke Vatikan. Kita kita jangan terlu heran. Tapi sesudah Kennedy tidak jadi presiden, masalah itu hilang dan sejak itu tidak dipertanyakan," kata Magnis di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Magnis mengambil contoh pandangan masyarakat yang menilai perempuan tidak bisa menjadi Presiden. Sampai akhirnya pandangan tersebut runtuh setelah Megawati Soekarnoputri berhasil menjadi Presiden di tahun 2001.
"Di Indonesia ada kasus seperti itu, yaitu perempuan. Waktu Megawati memenangkan pemilihan tahun 1999 banyak sekali yang mengatakan perempuan tidak bisa jadi Presiden, kemudian ibu Megawati menjadi Presiden, dan Gus Dur melakukan yang sangat pintar meminta Hamzah Haz jadi wakilnya. Sejak itu, wacana perempuan jadi pemimpin sudah hilang," katanya.
Menurut Magnis isu SARA tak akan berdampak apa-apa jika susana bangsa atau daerahnya baik.
"Isu SARA itu efektif, kalau suasana ekstrem emosional, tapi kalau di negara yang suasananya bagus, cukup baik, itu tidak efektif. Tapi kalau tidak, tentu SARA bisa memainkan perannya, kita harus waspada. Ada pengaruhnya, tapi saya tidak terlalu pesimis, sampai sekarang misalnya dalam pilgub di Jakarta, muncul isu SARA, tapi masih terkendali. Saya berharap setiap orang siap mengendalikan diri dengan mengambil sikap atas dasar pertimbangan untuk memilih calon gubernur yang berebutan untuk menjadi gubernur berikutnya," kata Magnis.
Koordinator Forum Kaum Muda Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Taufik Damas ikut angkat suara menanggapi isu yang membuat suasana makin panas itu. Dia mengingatkan setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dan tidak memandang latar belakang agama dan etnis. Hal ini sesuai asas negara ini yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
"Saya imbau kepada semua pihak, siapapun untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 45. Kesadaran atas konstitusi itu penting, agar orang bisa menerima kenyataan bahwa Indonesia beragam suku, etnis, agama dan kepercayaan," kata Taufik kepada Suara.com di Jakarta.
Wakil Khatib Syuriah PWNU DKI Jakarta menekankan semua warga negara yang memiliki kemampuan, punya hak yang sama untuk maju dan menjadi pemimpin negeri.
"Setiap orang berhak menjadi pemimpin di negeri ini, baik itu muslim atau non muslim, suku atau etnis apapun sama," ujar dia.
Lebih jauh, Taufik mengajak masyarakat Jakarta jangan terprovokasi dimunculkannya isu SARA. Masyarakat harus sama-sama menciptakan dan menjaga situasi agar pesta demokrsi di pusat negara ini berlangsung kondusif.
"Kami mengimbau semua pihak untuk menjaga dan menciptakan suasana yang sejuk dalam proses pilkada serentak nanti. Kita harus membangun demokrasi yang lebih baik," tutur dia.
Taufik juga mengajak masyarakat jangan pernah ikut-ikutan menyebarkan kebencian atas dasar perbedaan agama dan etnis.
"Kami mengajak masyarakat untuk menghindar dari penggunaan isu SARA, politisasi agama, serta tidak mudah mengumbar tuduhan penistaan terhadap agama dan Al-Quran dalam proses kampanye pilkada," kata Taufik.
Taufik mengatakan pilkada di berbagai daerah yang akan dilaksanakan 15 Februari 2017, khususnya di Jakarta, harus dijaga karena keberhasilan penyelenggaraanya akan menentukan kualitas demokrasi bangsa.
"Mengajak masyarakat untuk menciptakan proses pilkada yang jujur, adil, transparan dan damai. Kami juga mengimbau masyarakat, terutama para politisi dan tim sukses, untuk selalu ikut meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia," ujar dia.
Taufik lebih setuju dalam memilih pemimpin daerah, mengedepankan sikap kritis terhadap kualitas calon, ketimbang memandang belakang SARA. Masyarakat dewasa ini, katanya, harus lebih obyektif dalam menggunakan hak politik.
"Mengajak masyarakat untuk besikap kritis dan obyektif dalam menentukan pilihan dalam pilkada, dan siap menerima siapapun yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur di Jakarta," tutur Taufik. (Nikolaus Tolen dan Erick Tanjung)
Terkait:
Ketika Timses Cagub Jakarta Kompak Buang Isu SARA
Berita Terkait
-
Dedi Mulyadi Akui Marketnya Makin Luas Gara-Gara Sering Ngonten, Mau Nyapres?
-
Jatuh Bangun Nasib Ridwan Kamil: Gagal di Jakarta, Kini Terseret Isu Korupsi dan Perselingkuhan
-
Ashley Tanah Abang Jakarta: Hadirkan Kamar Tematik Keluarga untuk Liburan yang Lebih Seru
-
Tim RIDO Laporkan KPU ke DKPP dan Minta Pemungutan Suara Ulang, Anies: No Comment!
-
Pilkada DKI: El Rumi Pilih Dharma-Kun, Soroti Masalah Kabel Listrik
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
- 7 Rekomendasi Parfum Terbaik untuk Pelari, Semakin Berkeringat Semakin Wangi
- 8 Moisturizer Lokal Terbaik untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Solusi Flek Hitam
- 15 Kode Redeem FC Mobile Aktif 10 Oktober 2025: Segera Dapatkan Golden Goals & Asian Qualifier!
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
Menteri Haji Umumkan Tambahan 2 Kloter untuk Antrean Haji NTB Daftar Tunggu Jadi 26 Tahun
-
Bulan Madu Maut di Glamping Ilegal, Lakeside Alahan Panjang Ternyata Tak Kantongi Izin
-
Geger Ziarah Roy Suryo Cs di Makam Keluarga Jokowi: 7 Fakta di Balik Misi "Pencari Fakta"
-
Kronologi Bulan Madu Maut di Danau Diateh: Istri Tewas, Suami Kritis di Kamar Mandi Vila
-
FSGI: Pelibatan Santri dalam Pembangunan Musala Ponpes Al Khoziny Langgar UU Perlindungan Anak
-
Dugaan Korupsi Chromebook: Petinggi Perusahaan Teknologi Dipanggil Jaksa, Ternyata Ini Alasannya
-
FSGI Kecam Rencana Perbaikan Ponpes Al Khoziny Pakai Dana APBN: Lukai Rasa Keadilan Korban!
-
Krisis Politik di Madagaskar Memanas, Presiden Rajoelina Sebut Ada Upaya Kudeta Bersenjata
-
Kasus Korupsi Digitalisasi Pendidikan: Para Petinggi BUMN Ini Mulai Diselidiki Kejagung
-
18 Profesor Hukum Bela Hasto, Minta MK Rombak Pasal Kunci Pemberantasan Korupsi