Presiden Joko Widodo membuka Mukernas dan Holaqah Ekonomi Nasional HPN di Pondok Pesantren As-Tsaqafah, Jakarta, Jumat (5/5). (Antara)
Siang tadi, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis hukuman penjara dua tahun. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara langsung memerintahkan agar Ahok ditahan.
Usai dinyatakan bersalah, Ahok langsung dibawa ke rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Ahok menyatakan akan menempuh upaya banding, saat ini dia dan tim pengacara sedang persiapan.
Dari kacamata politik, menurut pengamat politik dari lembaga Populi Center Usep S. Ahyar ada beberapa cara membaca peristiwa tersebut.
Masuknya Ahok ke penjara bisa dibaca sebagai bentuk kekalahan kubu Presiden Joko Widodo. Seperti diketahui, Jokowi dan Ahok sama-sama didukung oleh PDI Perjuangan.
"Ada bacaan lain, misalnya ini kekalahan kubu Jokowi. Kan udah berkali-kali (kalah). Kalah di pemilihan gubernur. Tiga kali kalah dalam proses, kemudian dengan kelompok-kelompok yang dalam tanda kutip dicap radikal," kata Usep kepada Suara.com.
Usep menyebut peristiwa tersebut merupakan kekalahan bertubi-tubi kubu Jokowi.
"Pada puncaknya kemarin (usulan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia), kubu Jokowi ini dalam tanda kutip kalap. Artinya tidak punya counter culture. Pembubaran HTI ini terjadi di zaman demokrasi. Logika umum, misalnya dalam konteks demokrasi, semua masyarakat mestinya bebas berserikat, membentuk organisasi. walaupun misalnya ada aturan main yang harus disepakati," kata dia.
Keputusan pemerintah mengusulkan pembubaran HTI sekarang menjadi perdebatan panjang, terutama di kalangan organisasi kemasyarakatan. Pertanyaan berantai pun muncul, misalnya kenapa organisasi lain tidak dibubarkan, apa ukuran negara membubarkan organisasi.
"Pertanyaan kemudian kan berantai. Seperti sudah tidak ada cara lain yang lebih tidak dan tidak timbulkan polemik. Misalnya bangun counter culture, bentuk lawan secara kultural," kata Usep.
Keputusan pemerintah mengusulkan pembubaran HTI, kata Usep, telah membuat masyarakat dan organisasi terbelah dalam menyikapi.
Menurut Usep situasi tersebut bisa membuat munculnya koalisi kontra terhadap pemerintah.
Usep menekankan pembubaran HTI bukan langkah tepat. Secara administrasi mungkin bisa, tetapi secara ideologi belum tentu bisa karena mereka bisa membuat perkumpulan baru lagi.
Itu sebabnya, Usep berpikir kenapa pemerintahan Jokowi mengambil keputusan tersebut, yang seakan-akan menunjukkan sedang dalam situasi terdesak.
"Harusnya lakukan counter culture, dengan tangkal ideologi radikal, agar lebih demokratis," kata dia.
Melihat rentetan peristiwa tersebut, Usep memandang tim pemerintahan ini seperti mengalami serangkaian kegagalan.
"Kemudian ini bisa dibaca, wah ini kemenangan kelompok lawan, kelompok yang dicap radikal, misalnya," kata dia.
Tapi di sisi lain, kata Usep, peristiwa vonis terhadap Ahok bisa juga dibaca sebagai cara untuk mengurangi beban Jokowi karena selama ini dicap sebagai pelindung Ahok.
"Ada pula yang memaknai seperti itu. ada rasionalitas dalam konteks politik, beban pemerintahan Jokowi berkurang dengan Ahok divonis bersalah. kemudian tidak lagi menjabat, nanti ada pelaksana tugas dari PDIP, ini seperti bersih-bersih, begitu," kata dia.
Dengan adanya vonis terhadap Ahok, bisa juga dibaca untuk menghentikan gelombang perlawanan sampai ke teras Istana.
"Artinya begini, kalau ini tidak divonis bersalah. kan ini gelombang perlawanan akan semakin banyak," kata dia.
Dengan adanya vonis terhadap Ahok, potensi mereka yang selama ini menuntut Ahok dipenjara dan mereka yang tidak setuju pembubaran HTI berkoalisi menjadi minim. Dengan demikian, gelombang koalisi yang mengancam Istana berkurang.
"Daripada sampai ke teras Istana. Lebih baik disudahi di sini. Ada yang berpandangan demikian," kata dia.
"Itu bisa juga dibaca menyelamatkan Istana dari gelombang protes yang lebih besar lagi dari aliansi-aliansi ini," Usep menambahkan.
Dari sisi hukum, Usep meyakini tentunya majelis hakim mendasarkan keputusan mereka pada fakta-fakta hukum.
Usai dinyatakan bersalah, Ahok langsung dibawa ke rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Ahok menyatakan akan menempuh upaya banding, saat ini dia dan tim pengacara sedang persiapan.
Dari kacamata politik, menurut pengamat politik dari lembaga Populi Center Usep S. Ahyar ada beberapa cara membaca peristiwa tersebut.
Masuknya Ahok ke penjara bisa dibaca sebagai bentuk kekalahan kubu Presiden Joko Widodo. Seperti diketahui, Jokowi dan Ahok sama-sama didukung oleh PDI Perjuangan.
"Ada bacaan lain, misalnya ini kekalahan kubu Jokowi. Kan udah berkali-kali (kalah). Kalah di pemilihan gubernur. Tiga kali kalah dalam proses, kemudian dengan kelompok-kelompok yang dalam tanda kutip dicap radikal," kata Usep kepada Suara.com.
Usep menyebut peristiwa tersebut merupakan kekalahan bertubi-tubi kubu Jokowi.
"Pada puncaknya kemarin (usulan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia), kubu Jokowi ini dalam tanda kutip kalap. Artinya tidak punya counter culture. Pembubaran HTI ini terjadi di zaman demokrasi. Logika umum, misalnya dalam konteks demokrasi, semua masyarakat mestinya bebas berserikat, membentuk organisasi. walaupun misalnya ada aturan main yang harus disepakati," kata dia.
Keputusan pemerintah mengusulkan pembubaran HTI sekarang menjadi perdebatan panjang, terutama di kalangan organisasi kemasyarakatan. Pertanyaan berantai pun muncul, misalnya kenapa organisasi lain tidak dibubarkan, apa ukuran negara membubarkan organisasi.
"Pertanyaan kemudian kan berantai. Seperti sudah tidak ada cara lain yang lebih tidak dan tidak timbulkan polemik. Misalnya bangun counter culture, bentuk lawan secara kultural," kata Usep.
Keputusan pemerintah mengusulkan pembubaran HTI, kata Usep, telah membuat masyarakat dan organisasi terbelah dalam menyikapi.
Menurut Usep situasi tersebut bisa membuat munculnya koalisi kontra terhadap pemerintah.
Usep menekankan pembubaran HTI bukan langkah tepat. Secara administrasi mungkin bisa, tetapi secara ideologi belum tentu bisa karena mereka bisa membuat perkumpulan baru lagi.
Itu sebabnya, Usep berpikir kenapa pemerintahan Jokowi mengambil keputusan tersebut, yang seakan-akan menunjukkan sedang dalam situasi terdesak.
"Harusnya lakukan counter culture, dengan tangkal ideologi radikal, agar lebih demokratis," kata dia.
Melihat rentetan peristiwa tersebut, Usep memandang tim pemerintahan ini seperti mengalami serangkaian kegagalan.
"Kemudian ini bisa dibaca, wah ini kemenangan kelompok lawan, kelompok yang dicap radikal, misalnya," kata dia.
Tapi di sisi lain, kata Usep, peristiwa vonis terhadap Ahok bisa juga dibaca sebagai cara untuk mengurangi beban Jokowi karena selama ini dicap sebagai pelindung Ahok.
"Ada pula yang memaknai seperti itu. ada rasionalitas dalam konteks politik, beban pemerintahan Jokowi berkurang dengan Ahok divonis bersalah. kemudian tidak lagi menjabat, nanti ada pelaksana tugas dari PDIP, ini seperti bersih-bersih, begitu," kata dia.
Dengan adanya vonis terhadap Ahok, bisa juga dibaca untuk menghentikan gelombang perlawanan sampai ke teras Istana.
"Artinya begini, kalau ini tidak divonis bersalah. kan ini gelombang perlawanan akan semakin banyak," kata dia.
Dengan adanya vonis terhadap Ahok, potensi mereka yang selama ini menuntut Ahok dipenjara dan mereka yang tidak setuju pembubaran HTI berkoalisi menjadi minim. Dengan demikian, gelombang koalisi yang mengancam Istana berkurang.
"Daripada sampai ke teras Istana. Lebih baik disudahi di sini. Ada yang berpandangan demikian," kata dia.
"Itu bisa juga dibaca menyelamatkan Istana dari gelombang protes yang lebih besar lagi dari aliansi-aliansi ini," Usep menambahkan.
Dari sisi hukum, Usep meyakini tentunya majelis hakim mendasarkan keputusan mereka pada fakta-fakta hukum.
Komentar
Berita Terkait
-
Ojol Tewas, Ahok Sebut DPR Takut: Kenapa Tidak Berani Terima Orang Demo?
-
Ahok Ikut Komentar Soal Kenaikan Gaji Anggota DPR: Mau Rp1 Miliar Sebulan Oke
-
Ahok Tak Masalah kalau Gaji Anggota DPR Rp1 Miliar Sebulan, Tapi Tantang Transparansi Anggaran
-
CEK FAKTA: Ahok Sebut Jokowi Terseret Korupsi Pertamina Rp 193,7
-
Dari Rival Sengit Jadi Kawan Koalisi? Anies Baswedan Jawab Soal Potensi 'Duet' dengan Ahok
Terpopuler
- 10 Sunscreen untuk Flek Hitam Terlaris di Shopee yang Bisa Kamu Coba
- Lebih Murah dari Innova Zenix: 5 Mobil 7 Seater Kabin Lega Cocok untuk Liburan Keluarga Akhir Tahun
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- 7 Mobil 8 Seater Termurah untuk Keluarga, MPV hingga SUV Super Nyaman
Pilihan
-
4 HP Memori 256 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer yang Ingin Install Banyak Game
-
Disebut Menteri Berbahaya, Menkeu Purbaya Langsung Skakmat Hasan Nasbi
-
Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah
-
5 Fakta Kemenangan 2-1 Real Madrid Atas Barcelona: 16 Gol Kylian Mbappe
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
Terkini
-
Pemerintah Usulkan Biaya Haji 2026 Turun Rp 1 Juta per Jemaah Dibanding Tahun Lalu
-
Bicara soal Impeachment, Refly Harun: Pertanyaannya Siapa yang Akan Menggantikan Gibran?
-
SETARA Institute: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto Pengkhianatan Reformasi!
-
Whoosh Disorot! KPK Usut Dugaan Korupsi Kereta Cepat, Mark-Up Biaya Terendus?
-
Teka-Teki Penundaan Rakor Sekda Terungkap! Tito Karnavian Beberkan 2 Alasan Utama
-
Di KTT ASEAN, Prabowo Ajak Negara Asia Jaga Persaingan Sehat demi Masa Depan Kawasan
-
Geger Grup WA 'Mas Menteri': Najelaa Shihab Terseret Pusaran Korupsi Chromebook Nadiem
-
Praperadilan Ditolak, Kuasa Hukum Delpedro: Ini Kriminalisasi, Hakim Abaikan Putusan MK
-
Pramono Anung Pastikan Tarif TransJakarta Naik, Janjikan Fasilitas Bakal Ditingkatkan
-
KPK Pastikan Korupsi Whoosh Masuk Penyelidikan, Dugaan Mark Up Gila-gilaan 3 Kali Lipat Diusut!