Suara.com - Mantan Ketua DPR Setya Novanto sudah memutuskan untuk tidak mengajukan upaya banding atas vonis 15 tahun penjara, yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ia mengungkapkan, keputusannya tersebut merupakan hasil diskusi dengan anak-anak, istri, serta tim penasihat hukum.
Hal itu disampaikan Setnov saat hadir menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan terdakwa Fredrich Yunadi di Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (3/5/2018).
"Setelah tanggal 30 April, saya berkonsultasi dengan keluarga, anak dan istri dan juga penasihat hukum. Dengan pertimbangan yang tinggi, saya memang tidak banding meskipun memunyai hak untuk banding dan juga ke MA (Mahkamah Agung)," kata Setnov.
Pada kesempatan tersebut, mantan Ketua DPR RI itu mengungkapkan alasannya tidak mengajukan banding.
Menurutnya, suasana sosial menjadi alasan utama Setnov tidak mengajukan banding dan mengikuti langkah KPK.
"Tapi ini untuk menjernihkan suasana sosial yang (kisruh) sejak saya menjadi tersangka, maka memang sebaiknya saya cooling down dulu," katanya.
Meski begitu, dia menegaskan akan terus mengikuti perkembangan kasus yang telah menjeratnya melalui proses persidangan tersangka lain.
KPK kekinian tengah memproses terdakwa Anang Sugiana Sudoharjo, tersangka Made Oka Masagung, dan Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Baca Juga: MK Kembali Gelar Sidang Lanjutan 7 Perkara Uji Materi UU MD3
"Nanti saya akan mengikuti proses hukum tersangka-tersangka lain mulai dari Anang, saudara Oka dan juga Putranto (Irvanto). Tentu nanti akan saya lihat perkembangan," tutup Setnov.
Setnov divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa wajib membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta dikurangi uang Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan ke KPK.
Ia juga dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun, yang diberlakukan setelah Setnov selesai menjalani masa pemenjaraan.
Untuk diketahui, vonis tersebut lebih rendah satu tahun dari tuntutan JPU KPK. Jaksa lembaga antirasywah tersebut menuntut Setnov dihukum penjara 16 tahun. Meski lebih rendah, KPK tidak mengajukan banding.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Periksa Dirjen PHU Hampir 12 Jam, KPK Curiga Ada Aliran Uang Panas dari Kasus Korupsi Kuota Haji
-
Mardiono Tanggapi Munculnya Calon Ketum Eksternal: PPP Punya Mekanisme dan Konstitusi Baku
-
Dirut BPR Jepara Artha Dkk Dapat Duit hingga Biaya Umrah dalam Kasus Kredit Fiktif
-
Muncul ke Publik Usai Dikira Hilang saat Demo Ricuh, Eko Purnomo: Maaf Bikin Khawatir
-
KPK Wanti-wanti Kemenkeu soal Potensi Korupsi dalam Pencairan Rp 200 Triliun ke 5 Bank
-
Mendagri Jelaskan Pentingnya Keseimbangan APBD dan Peran Swasta Dalam Pembangunan Daerah
-
Dukungan Mengalir Maju Calon Ketum PPP, Mardiono: Saya Siap Berjuang Lagi! Kembali PPP ke Parlemen!
-
KPK Beberkan Konstruksi Perkara Kredit Fiktif yang Seret Dirut BPR Jepara Artha
-
Peran Satpol PP dan Satlinmas Dukung Ketertiban Umum dan Kebersihan Lingkungan Diharapkan Mendagri
-
Jadilah Satpol PP yang Humanis, Mendagri Ingatkan Pentingnya Membangun Kepercayaan Publik