Suara.com - Indonesia Corruption Watch mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2020, karena pandemi covid-19 semakin parah.
Peneliti ICW Egi Primayogha menyebut, Jokowi semestinya memiliki alasan kuat untuk menunda sementara Pilkada 2020.
Apalagi, penyebaran virus covid-19 dan masyarakat yang terjangkit positif setiap harinya terus meningkat.
"Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang semakin memburuk akan menyebabkan berbagai dampak negatif," ungkap Egi melalui keterangan tertulis, Jumat (2/10/2020).
Egi menyebut, ICW memiliki catatan bila pemerintah berkukuh pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan di tengah pandemi covid-19.
Pertama, dapat dipastikan pelaksanaan pilkada akan mengancam kesehatan dan nyawa warga. Sejumlah aktivitas dalam proses pilkada akan menimbulkan kerumunan orang.
"Proses kampanye misalnya, jelas akan melibatkan banyak orang. Lebih lagi KPU telah mengizinkan digelarnya konser untuk kampanye pilkada. Begitu juga dengan perhitungan suara yang akan melibatkan cukup banyak pihak dalam prosesnya. Dengan begitu, maka risiko penularan akan semakin tinggi," ungkap Egi.
Kedua, potensi praktik kecurangan semakin rawan, seperti politik uang ditengarai semakin marak di tengah kondisi pandemi.
"Banyak warga yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Permasalahan itu dialami oleh berbagai lapisan warga," ucap Egy.
Baca Juga: Bawaslu Kota Semarang Temukan 48 DPT Invalid, Mereka Masih Dibawah Umur
Apalagi, bantuan sosial pemerintah, kata Egy, yang dianggap distribusinya tidak lancar kepada warga.
Maka itu, bansos dapat dimanfaatkan oleh para peserta kepala daerah maupun tim sukses masing-masing calon agar mendapatkan suara dalam pemilihan.
"Kondisi itu dapat dimanfaatkan oleh para kandidat untuk melakukan praktik vote buying. Kandidat memberikan hal mendesak yang dibutuhkan warga guna mendapatkan suara. Politisasi bantuan sosial untuk kepentingan pilkada juga akan marak, terutama dilakukan oleh petahana," ungkap Egy.
Ditambah, pandemi covod-19 ini, akan membatasi ruang gerak warga, sehingga pengawasan akan semakin melemah.
"Jikapun dipaksakan risiko penularan akan semakin tinggi. Oleh sebab itu praktik kecurangan akan semakin marak," ujar Egy.
Ketiga, bila tetap dilaksanakan pilkada serentak 2020, partisipasi warga dalam memilih akan menurun.
Warga, kemungkinan besar akan enggan untuk berpartisipasi karena besarnya risiko penularan.
"Ikut hadir di bilik suara dengan protokol kesehatan sekalipun, tetap tidak mengurangi resiko dan ancaman kesehatan dan nyawa mereka," ucap Egy.
Maka itu, kata Egy, rendahnya partisipasi warga akan menurunkan kualitas dari pilkada itu sendiri, sekaligus mencerminkan terdapat permasalahan di balik prosesnya.
"Padahal, jalan untuk menunda pilkada sangat terbuka lebar," ungkap Egy.
Dalam penjelasan Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) no 2 tahun 2020 ikut menegaskan bahwa Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.
Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada juga menjadi janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) yang diputuskan untuk ditunda dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan.
"Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan bagi para cukong," kata Egy.
Apalagi, kata Egy, bahwa Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Mahfud MD mensinyalir bahwa 92 persen calon kepala daerah disokong oleh para pengusaha. Mereka ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi-politik berlipat-lipat saat calonnya menang dalam kontestasi pilkada.
Karenanya, ICW menilai bila Jokowi tetap memaksakan pilkada dilanjutkan, bisa dikatakanorang nomor satu di republik Indonesia ini mengabaikan keselamatan masyarakat.
"Sebaliknya, Presiden Jokowi dapat dianggap lebih mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’ pilkada di depan," Egy.
Berita Terkait
-
Bawaslu Kota Semarang Temukan 48 DPT Invalid, Mereka Masih Dibawah Umur
-
Ajaib! Belum Lahir Sudah Terdaftar Jadi Pemilih Pilkada di Kendal
-
KPK: Bank Daerah Menjadi Titik Rawan Korupsi Saat Pilkada Serentak 2020
-
Pilkada Ditunda, Anggaran Covid-19 Tidak Akan Cair
-
Besok, DPRD Cilegon Rapat Paripurna Berhentikan Sokhidin
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Ratu Tisha Lengser: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar PSSI?
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
-
Emil Audero Jadi Kunci! Cremonese Bidik Jungkalkan Parma di Kandang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
Terkini
-
Cemburu Istri Dituduh Selingkuh, Terkuak Motif Pria di Cakung Bakar Rumah
-
Pemprov Sumut Beri SPP Gratis, Internet Gratis, Pelatihan Tenaga Pengajar
-
Daftar 17 Hari Libur Nasional 2026 Resmi Berdasarkan SKB 3 Menteri
-
Pendidikan Ketua PBNU Gus Fahrur, Sebut Food Tray MBG Mengandung Babi Boleh Dipakai setelah Dicuci
-
Cinta Segitiga Berujung Maut: Pemuda Cilincing Tewas Ditikam Pisau 30 Cm oleh Rival Asmara
-
Narasi Prabowo - Gibran Dua Periode Disorot: Orientasi Kekuasaan Jauh Lebih Dominan?
-
Imbas Pasutri di Cakung Ribut: Rumah Ludes Dibakar, Suami Dipenjara, Istri-Mertua Luka-luka!
-
Rocky Gerung Bongkar Borok Sistem Politik!
-
Wahyudin Moridu Ternyata Mabuk saat Ucap 'Mau Rampok Uang Negara', BK DPRD Gorontalo: Langgar Etik!
-
Indonesia di Ambang Amarah: Belajar dari Ledakan di Nepal, Rocky Gerung dan Bivitri Beri Peringatan!