Suara.com - Sejumlah perempuan di Myanmar diketahui mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, dan diancam diperkosa di dalam penjara, menurut sejumlah laporan yang diterima BBC.
Lima perempuan yang pernah ditahan lantaran ikut protes menentang kudeta militer awal tahun ini mengaku telah dilecehkan dan disiksa di tempat tahanan setelah mereka ditangkap.
Nama-nama narasumber itu diubah untuk melindungi privasi dan keselamatan mereka.
Peringatan: Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan yang bisa membuat tidak nyaman
Sejak militer Myanmar mengambil alih kekuasaan Februari lalu, rangkaian unjuk rasa meletus di penjuru negeri - dan para perempuan turut memainkan peranan penting dalam gerakan perlawanan ini.
Baca juga:
- Kisah frustrasi para pelajar perempuan Afghanistan yang dilarang bersekolah oleh Taliban
- 100 Perempuan tahun 2021 versi BBC: Siapa saja mereka?
- Kisah ibu yang menyelamatkan para perempuan dari tuduhan sihir, 'korban disiksa, dibakar, disalibkan di jalanan'
Kalangan kelompok HAM mengatakan militer Myanmar menggunakan taktik penculikan, penyanderaan serta penyiksaan dan kekerasan itu semakin luas sejak kudeta terjadi.
Per 8 Desember 2021, setidaknya 1.318 warga sipil tewas selama pihak militer memberangus gerakan pro-demokrasi, termasuk 93 perempuan, menurut Asosiasi Bantuan Hukum Tahanan Politik (AAPP), organisasi HAM nirlaba.
Sedikitnya delapan perempuan tewas saat berada dalam penahanan, empat di antaranya disiksa sampai mati di sebuah pusat interogasi.
Baca Juga: Junta Myanmar Bakar 11 Warga hingga Tewas, Ada Mahasiswa jadi Korban
Total warga sipil yang sudah ditahan sebanyak 10.200 orang, termasuk lebih dari 2.000 perempuan.
Aktivis Demokrasi Ein Soe May dipenjara selama hampir enam bulan. Pada 10 hari pertama, ia ditahan di salah satu pusat interogasi terkenal, di mana dia mengaku mendapat kekerasan seksual dan penyiksaan.
Soe May mengatakan kepada BBC, suatu pagi, saat membuat poster untuk unjuk rasa, dia ditangkap dan digelandang masuk ke belakang sebuah mobil van.
"Saat saya tiba, itu sudah malam (di suatu lokasi yang dirahasiakan). Mata saya ditutup, dan berusaha untuk menghindari benda-benda imajiner selama menuju ruang interogasi, sehingga mereka bisa mempermainkan saya," kata Soe May.
Dia lalu diinterogasi oleh orang-orang yang menangkapnya dan untuk setiap jawaban yang tidak mereka sukai, mereka akan memukulnya dengan tongkat bambu.
Soe May mengaku juga berulang kali ditekan untuk merinci mengenai kehidupan seksualnya. Seorang penjaga mengancam: "Kamu tahu apa yang kami lakukan pada perempuan yang berakhir di sini? Kami memperkosa dan membunuh mereka."
Dia kemudian diserang secara seksual ketika matanya masih ditutup. "Mereka melorotkan pakaian saya, menyentuh saya, mengeskpos tubuh saya," katanya.
Tutup matanya kemudian dilepas, dan dia melihat seorang penjaga menyisakan satu peluru di pistolnya.
Saat dia tidak memberikan rincian mengenai rekan-rekannya, mereka akan menyuruhya buka mulut dan "memaksakan ujung pistol itu masuk ke dalam mulut," katanya.
Pusat tahanan sementara
Menurut peneliti dari Human Rights Watch (HRW) di Myanmar, Manny Maung, lokasi pusat interogasi "bisa di mana saja, baik dari tempat penahanan sementara, ruangan di barak militer, atau di bangunan yang sudah tidak terpakai".
Hal ini juga diakui oleh seorang pengacara di Myanmar yang berbicara kepada BBC, tapi meminta namanya disembunyikan untuk alasan keselamatan. Dia mengaku bisa mewakili para penyintas yang mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual selama interogasi berlangsung.
"Salah satu klien saya merupakan korban salah tangkap. Saat dia menjelaskan bahwa dia bukanlah orang yang dituduhkan militer, dia malah mendapat siksaan berupa batang besi yang digelindingkan di bagian tulang keringnya, berulang kali. Sampai ia pingsan," kata pengacara itu.
Perempuan itu kemudian "dikirim ke pusat interogasi lainnya, di mana dia mengaku bertemu dengan seorang penjaga. Jika ia ingin bebas, maka harus tidur dengan penjaga itu," tambahnya.
Pengacara ini menggambarkan sistem hukum Myanmar yang buram, di mana kuasa hukum seperti dirinya terkadang tak memiliki daya.
"Kami berupaya untuk menentang (penangkapan dan interogasi itu), tapi kami diberi tahu kalau proses itu legal dan (para interogator) sudah mendapat perintah."
Meskipun sulit untuk memverifikasi keterangan Soe May, BBC berbicara kepada perempuan lain yang pernah ditahan, yang juga mengaku mendapat penyiksaan dan kekerasan seksual di pusat interogasi.
"Mereka memaksa saya untuk menunjukkan tiga jari (simbol perlawanan terhadap militer di Myanmar), satu jam kemudian seorang penjaga mengelus rambut saya untuk mengintimidasi," katanya.
Perempuan lain, yang dibawa ke pusat interogasi di kota kecil Shwe Pyi Thar mengatakan: "Mereka menarik para perempuan dari ruangan. Beberapa perempuan kembali dengan kancing baju yang sudah terlepas atau hilang."
'Berita palsu'
BBC menjelaskan kesaksian Soe May kepada Wakil Menteri Informasi Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun. Namun, ia membantah adanya penyiksaan yang dilakukan oleh militer, dan menganggapnya sebagai 'berita palsu'.
Awal tahun ini, militer mempublikasikan foto seorang perempuan yang ditahan. Wajahnya bengkak karena pukulan, dan sudah tak lagi bisa dikenali. Gambar ini kemudian viral.
Dia masih berada di tahanan, dan menghadapi tuduhan kasus penggunaan senjata.
BBC lalu bertanya kepada Mayor Jenderal Zaw Min Tun, kenapa militer tidak menyamarkan bekas luka itu.
Dia menjawab: "Ini terjadi saat proses penangkapan. Mereka berusaha lari, dan kami menangkap mereka."
Ruang tahanan isolasi
Kekerasan tidak hanya terjadi di tempat-tempat interogasi rahasia.
Seorang aktivis yang berusia 50an tahun, yang kami sebut Lin, menggambarkan kepada BBC bagaimana dia ditempatkan di ruang isolasi lebih dari 40 hari di dalam penjara Insein Yangon.
Tak ada apa-apa di dalam ruang tahanan itu, selain pakaian yang ia gunakan - bahkan tidak ada obat-obatan yang dia butuhkan. Selama penahanan, dia semakin lemah.
"Saya terbaring di kegelapan, dan khawatir saya akan mati," katanya. "Kadang-kadang, saya mendengar teriakan dan tangisan dari sel terdekat. Saya terus berpikir, siapa lagi yang dipukuli."
Dia mengenang kembali, suatu hari seorang petugas pria masuk ke dalam selnya dengan beberapa petugas perempuan.
"Ketika mereka pergi, saya perhatikan petugas pria sedang merekam saya," katanya.
Dia kemudian menyampaikan keluhan, tapi dibalas petugas itu "percuma".
Peneliti HRW Manny Maung mengatakan kepada BBC bahwa sering kali penjara yang berkapasitas hanya 100 orang malah diisi 500 tahanan perempuan. Untuk tidur, mereka harus bergantian, karena mereka semua tak bisa berbaring dalam waktu yang bersamaan.
Mereka juga tak mendapatkan kebutuhan dasar sanitasi, katanya, sambil menambahkan langkah itu "mengabaikan hak fundamental para tahanan".
Perempuan yang pernah dibawa ke pusat interogasi di Shwe Pyi Thar juga punya pengalaman dengan penjara ini.
"Perempuan yang baru tiba di pusat interogasi itu penuh luka yang belum sembuh, ada juga yang sedang menstruasi, dan baru boleh mandi setelah tujuh hari ditahan," katanya.
Soe May dibebaskan setelah mendapat pengampunan bersama lebih dari 5.000 tahanan pada Oktober lalu. Ia mengatakan, perlawanannya itu setimpal dengan ketakutan untuk kembali ditangkap.
"Saya tahu, selalu ada kemungkinan saya kembali ditangkap, dan saya mungkin mati, tapi saya ingin melakukan sesuatu untuk negeri saya," katanya.
"Meskpun saya tidak merasa aman, saya ingin melanjutkan upaya menjadi bagian dari perlawanan ini."
Ilustrasi oleh Davies Surya dan Jilla Dastmalchi
BBC 100 Women menyusun daftar 100 perempuan berpengaruh dan inspiratif di penjuru dunia setiap tahun. Kami membuat film dokumenter, feature, dan wawancara tentang kehidupan mereka - cerita yang menempatkan perempuan sebagai pusatnya.
Ikuti BBC 100 Women di Instagram, Facebook dan Twitter. Mari bergabung dalam percakapan dengan menggunakan tagar #BBC100Women.
Berita Terkait
-
Terseret Kasus Pelecehan Seksual, David Del Rio Didepak dari Serial Matlock
-
Fakta Kelam Kasus Inses di Gowa, Ayah Setubuhi Anak Sejak SD di Samping Istri yang Tertidur
-
Makin Panas! Sahara Laporkan Yai Mim atas Dugaan Pelecehan Seksual dengan Alat Bukti
-
Kronologi Video Intim Yai Mim dan Istri Tersebar, Ponsel Sempat Dibawa Sahara
-
Diancam Bakal Dipolisikan Terduga Pelaku Pelecehan di Bekasi, Richard Lee: Perlukah Saya Minta Maaf?
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- 7 Rekomendasi Parfum Terbaik untuk Pelari, Semakin Berkeringat Semakin Wangi
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
- 8 Moisturizer Lokal Terbaik untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Solusi Flek Hitam
- 15 Kode Redeem FC Mobile Aktif 10 Oktober 2025: Segera Dapatkan Golden Goals & Asian Qualifier!
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
Tiga Notaris Jadi Saksi Kunci, KPK 'Kuliti' Skema Mafia Tanah Tol Sumatera
-
Tragedi Ponpes Al Khoziny: Identifikasi Korban Terus Berlanjut, 53 Jenazah Teridentifikasi!
-
Nobel Perdamaian 2025 Penuh Duri: Jejak Digital Pro-Israel Penerima Penghargaan Jadi Bumerang
-
Birokrasi Jadi Penghambat Ambisi Ekonomi Hijau Indonesia? MPR Usul Langkah Berani
-
Jejak Korupsi SPBU Ditelusuri, KPK dan BPK Periksa Eks Petinggi Pertamina
-
'Tsunami' Darat di Meksiko: 42 Tewas, Puluhan Hilang Ditelan Banjir Bandang Mengerikan
-
Prajurit TNI Gagalkan Aksi Begal dan Tabrak Lari di Tol Kebon Jeruk, 3 Motor Curian Diamankan
-
Di The Top Tourism Leaders Forum, Wamendagri Bima Bicara Pentingnya Diferensiasi Ekonomi Kreatif
-
KPK Bongkar Akal Bulus Korupsi Tol Trans Sumatera: Lahan 'Digoreng' Dulu, Negara Tekor Rp205 M
-
Buntut Tragedi Ponpes Al Khoziny, Golkar Desak Pesantren Dapat Jatah 20 Persen APBN