News / Nasional
Selasa, 12 September 2023 | 14:55 WIB
Foto Siskaeee di film Keramat Tunggak. (Twitter/@linkdoodterbaru)

Dalam buku, Ali Sadikin mengatakan, kebijakannya melokalisasi pelacuran di Jakarta dianggap sebagai upaya untuk ekspolitasi manusia, merendahkan perempuan dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi.

Namun menurut Ali, aspirasi KAWI mesti ditampung. Ia lalu membentuk panitia kecil bersana KAWI untuk mengatasi pelacuran.

Langkah ini sekaligus untuk menunjukkan secara langsung pada KAWI kondisi sebenarnya dan seperti apa persoalan yang sesungguhnya.

“Setelah panitia kecil bekerja, kesimpulan saya, tetap menanggulanginya tepat dengan melokalisasi mereka, melokalisasi kan berarti mempersempit gerak mereka dan dengan demikian akan terbina apa yang diharapkan sebagai ‘menghapuskan pemandangan kurang sedap’ di tepi-tepi jalan,” kata Ali.

Menurut Ali, ketika itu tidak mudah menyelesaikan masalah keberadaan wanita tunasusila. Dan masyarakat lebih banyak menggunjingkannya daripada menolong mereka.

Namun pada perkembangannya, lokalisasi Kramat Tunggak semakin meluas dan menjadi lahan basah bagi para mucikari untuk mempekerjakan perempuan sebagai wanita penghibur.

Penutupan Kramat Tunggak

Pada era 1990-an, di Kramat Tunggak tercatat ada lebih dari 2 ribu pekerja seks, sehingga membuat kawasan itu dikenal sebagai tempat yang ‘kotor’.

Hal inilah kemudian yang membuat warga sekitar Kramat Tunggak mendesak pemerintah untuk menutup lokalisasi itu.

Baca Juga: Ada Adegan Siskaeee Salat Sebelum Berhubungan Intim di Keramat Tunggak

Akhirnya Kramat Tunggak resmi ditutup oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada 31 Desember 1999.

Untuk membersihkan citra Kramat Tunggak, Sutiyoso melontarkan ide untuk membangun Jakarta Islamic Center di bekas kawasan tersebut dan terealisasi pada 4 Maret 2003 hingga kini.

Kontributor : Damayanti Kahyangan

Load More