Suara.com - Amerika Serikat (AS) mungkin saat ini menjadi salah satu negara yang menjadi rujukan bagi negara-negara di dunia, pasalnya sejumlah teknologi canggih hampir berasal dari Negeri Paman Sam dijuluki.
Tidak hanya itu saja, politik di Amerika Serikat juga sering menjadi percontohan negara-negara kecil, karena berhasil bisa menjadi penggerak baik kerja sama ekonomi antar negara, hingga memunculkan konflik.
Saat ini AS diketahui telah mengakuisisi hampir 40 persen dari wilayahnya dengan cara membeli lahan dari kekuatan kolonial dan negara-negara regional.
Seperti informasi yang beredar, AS telah melakukan pembelian atau mengakuisisi sebuah pulau di Bangladesh hingga menyebabkan Perdana Menteri Sheikh Hasina mundur karena adanya aksi kericuhan luar biasa.
Salah satu pulau di Bangladesh telah menjadi milik AS itu Pulau St. Martin di Teluk Bengal.
Hasina mengklaim bahwa dia tidak diizinkan tetap berkuasa karena menolak menerima hal tersebut. Gedung Putih membantah tuduhan tersebut.
Di Amerika Utara, setelah kedatangan Christopher Columbus di benua tersebut pada akhir abad ke-15, kekuatan Spanyol, Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya mulai mendirikan koloni pada abad ke-16.
Proses perampasan tanah dari penduduk asli melalui perang dan pembantaian semakin cepat pada abad ke-17 dan 18, yang mengarah pada dominasi Eropa atas benua tersebut.
Setelah menyatakan kemerdekaannya, AS menerapkan kebijakan ekspansi wilayah selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Mahfud MD Dukung KPK Periksa Kaesang Pangarep Kasus Dugaan Gratifikasi Jet Pribadi
Pada tahun 1803, AS mengakuisisi Wilayah Louisiana dari Prancis dengan harga 15 juta dolar AS (Rp231,6 miliar). Akuisisi ini memfasilitasi ekspansi wilayah AS ke arah barat melintasi benua.
Faktor-faktor yang memperkuat posisi AS dalam pembelian ini termasuk kesulitan ekonomi Prancis dan kekhawatiran pemimpin Prancis, Napoleon Bonaparte, tentang masalah ekonomi dan keamanan yang dapat ditimbulkan oleh potensi konflik di Eropa.
Jumlah yang dibayarkan untuk wilayah tersebut, jika disesuaikan dengan tingkat inflasi rata-rata dolar sebesar 1,52 persen dari tahun 1803 hingga 2024, akan mencapai sekitar 420 juta dolar AS (Rp6,4triliun) dalam mata uang saat ini.
Selain itu, terdapat pula pembelian Florida yang dahulunya merupakan salah satu koloni Spanyol di Amerika.
Pada awal abad ke-19, Spanyol mulai kehilangan kendali atas Florida akibat dampak perang di Eropa dan konflik dengan penduduk setempat.
Kemudian pada 1819, AS membeli Florida dari Spanyol melalui Perjanjian Adams-Onis. AS setuju untuk menanggung sekitar 5 juta dolar AS kerugian yang disebabkan oleh tindakan warganya terhadap Spanyol.
Selanjutnya pada 1854, AS membeli hampir 77.000 kilometer persegi (29.729 mil persegi) tanah dari Meksiko seharga 10 juta dolar AS (Rp154,5miliar).
Tanah ini sekarang mencakup bagian dari Arizona dan New Mexico saat ini.
Pada paruh kedua abad ke-19, tekanan ekonomi akibat Perang Krimea menciptakan kondisi keuangan yang sulit bagi Rusia sehingga Rusia menawarkan untuk menjual Alaska kepada AS. Walhasil pada 1867, AS membeli Alaska dari Rusia seharga 7,2 juta dolar AS (Rp111,1 miliar)
Jika disesuaikan dengan tingkat inflasi rata-rata dolar sebesar 1,97 persen dari tahun 1867 hingga 2024, jumlah yang dibayarkan untuk Alaska setara dengan sekitar 153 juta dolar AS (Rp2,3 triliun) saat ini.
Nilai Alaska meningkat dengan penemuan sumber daya alamnya dan pengembangannya sebagai tujuan wisata. Saat ini, Alaska mencakup sekitar 17 persen dari wilayah AS saat ini.
Pentingnya geopolitik Alaska dan wilayah Arktik atau Lingkar Kutub Utara semakin jelas seiring waktu.
Alaska memberikan AS pos strategis melawan Rusia dan sangat penting untuk kehadiran dan pertahanan militer AS di Arktik.
AS juga mencoba membeli Kuba dari Spanyol. Selama proses kemerdekaan Kuba, pada tahun 1903, tanah di mana Teluk Guantanamo berada disewakan kepada AS. [Antara].
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO