Misalnya ada seorang pemilih disabilitas tuli yang hadir di TPS. Jika petugas TPS tidak mengetahui keberadaan pemilih disabilitas tuli tersebut, mereka mungkin akan terus memanggil namanya untuk masuk ke dalam bilik, namun si pemilih tidak akan mendengar panggilan tersebut karena keterbatasan yang dimilikinya. Menurut Dodi, hal detail inilah yang sebaiknya diperhatikan betul oleh penyelenggara Pemilu untuk memberikan rasa adil bagi para penyandang disabilitas.
"Penyelenggaraan sudah relatif baik, hanya pemantauan masih kurang. Kalau lihat dari pelanggaran Pemilu dalam rangka Pemilu ramah difabel itu pelanggarannya lebih bayak di tingkat TPS," imbuhnya.
Ini dialami Inna Hanifah, seorang pemilih disabilitas tuli asal Gunungkidul, yang menceritakan betapa sulitnya menyalurkan suara. Selama ini, ia selalu dimasukkan ke dalam DPT umum, bukan DPT khusus disabilitas yang didata ragam disabilitasnya. Petugas pemutakhiran data yang datang ke rumahnya hanya mendata jumlah anggota keluarga yang sudah memenuhi usia pemilih tanpa menanyakan kebutuhan khusus Inna sebagai penyandang disabilitas. Secara fisik, Inna memang terlihat seperti pemilih umum tanpa kebutuhan khusus.
Kesulitan ini semakin terasa ketika ia baru pindah ke Gunungkidul beberapa tahun lalu; tidak ada warga yang mengenalnya, sehingga tidak ada yang mengetahui kebutuhan khususnya. Wanita berusia 41 tahun ini selalu didampingi oleh ibunya yang membantunya saat pencoblosan dan memberikan arahan.
“Kalau di daerah boro-boro ada identifikasi gitu, cuma didata dapat DPT aja tidak ada khusus disabilitas,” keluh Inna.
Belum Ada Data Induk Disabilitas
Terkait data disabilitas, Indonesia memang masih jauh dari kata ideal. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki satu data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Setiap lembaga atau kementerian mengeluarkan data berdasarkan versi dan kebutuhan masing-masing.
Untuk wilayah DIY, Dinas Sosial mencatat sekitar 30 ribu penyandang disabilitas. Mereka yang terdata termasuk dalam kategori disabilitas yang memerlukan penanganan khusus, seperti gelandangan hingga pelaku atau korban kekerasan, sehingga membutuhkan layanan kesejahteraan sosial.
Berbeda dengan Dinas Kesehatan, yang mencatat data disabilitas berdasarkan masalah medis yang dimiliki dan kebutuhan medis. Sementara itu, KPU juga telah memiliki data disabilitas, namun data ini didasarkan pada disabilitas yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah, serta bukan anggota TNI/Polri. Padahal, menurut estimasi BPS, jumlah difabel di Indonesia diperkirakan mencapai 8 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bappenas memiliki estimasi yang berbeda, yaitu sekitar 14 persen dari jumlah penduduk seluruh Indonesia.
“Jadi, ketika kita menyebutkan berapa jumlah difabel, kisarannya berada antara 8-14 persen dari total penduduk di manapun posisinya,” kata anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro.
Farid memerinci hitungannya terkait jumlah disabilitas di Yogyakarta. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah proyeksi jumlah penduduk DIY sebanyak 4.126.444 jiwa. Apabila mengikuti perhitungan estimasi BPS jumlah disabilitas sebesar 8 persen dari total penduduk, maka jumlah disabilitas di DIY sebanyak 330.115 jiwa dari semua usia.
Hasil survei yang dilakukan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas) juga menjadi pembuktian bahwa masih banyak disabilitas yang tidak terakomodasi dalam Pemilu. Survei menunjukkan sebanyak 81 persen pemilih pemula disabilitas seluruh Indonesia berusia 17-21 tahun tidak terdaftar dalam DPT. Data ini didasarkan pada hitungan proyeksi data BPS Survei Long Form Sensus 2020 berdasarkan asumsi pertumbuhan linier dan setiap individu dari rentang usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun bertambah satu tahun setiap tahunnya tanpa memperhitungkan faktor-faktor seperti kematian atau migrasi.
Data ini memperlihakan hak-hak disabilitas dalam menyuarakan suaranya di Pemilu belum bisa terakomodasi dengan baik oleh penyelenggara. Belum lagi temuan lain menunjukkan sebanyak 70 persen di antaranya masih terdaftar sebagai pemilih biasa, bukan sebagai pemilih disabilitas.
"Ini menjadi poin penting yang harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu. Sangat dimungkinkan pemilih disabilitas mengalami hambatan untuk mengakses setiap tahapan proses pemilu karena masih terdata sebagai pemilih biasa," ujar Ajiwan, disabilitas netra yang juga menjadi staf SIGAB Indonesia.
Persoalan Pelik Disabilitas
Keterbukaan data bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam menyuarakan hak pilih mereka. Sebagai individu yang telah cukup umur atau sudah menikah, mereka belum tentu mendapatkan hak pilih dengan terdaftar di DPT. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang menganggap disabilitas sebagai aib, sehingga mereka cenderung menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang disabilitas. Hal ini berdampak pada ketidakakuratan dalam pendataan daftar pemilih.
Di lapangan juga masih ditemukan keluarga yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas tidak perlu menyalurkan suara, cukup diwakili oleh anggota keluarga lainnya yang dianggap normal. Bahkan, ada pula individu disabilitas yang menolak disebut disabilitas karena tidak ingin dianggap sebagai seseorang dengan keterbatasan. Fenomena ini banyak terjadi, terutama di wilayah pedesaan dengan tingkat pemahaman tentang disabilitas dan hak suara masih rendah.
Berita Terkait
-
Target Tinggi Veda Ega Pratama di Moto3 2026, Sekaligus Proses Belajar di Tim Baru
-
Masih Sering Bonceng Anak di Depan? Ini Cara Aman Sesuai Aturan, Nyawa Tak Bisa Dibeli!
-
6 Tempat Wisata Hidden Gem di Kulon Progo, Suasana Tenang Tanpa Macet
-
Pelatih PSIM Yogyakarta Jean-Paul van Gastel Keluhkan Laga Tanpa Penonton Melawan Persijap Jepara
-
Ketum PP Muhammadiyah Kenang Ustaz Jazir Jogokariyan, Teladan Penggerak Masjid dan Dakwah Umat
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Karir Ambyar! Brigadir YAAS Dipecat Polda Kepri Usai Aniaya Calon Istri yang Hamil
-
Saksi Ungkap Pertamina Gunakan Kapal PT JMN karena Keterbatasan Armada Domestik
-
Bupati Bekasi dan Ayah Dicokok KPK, Tata Kelola Pemda Perlu Direformasi Total
-
Menteri Mukhtarudin Terima Jenazah PMI Korban Kebakaran di Hong Kong
-
Panas Paripurna Ranperda Perubahan Badan Hukum PAM Jaya, PSI Tetap Tolak Privatisasi BUMD Air Minum
-
KPK Ungkap Kepala Dinas Sengaja Hapus Jejak Korupsi Eks Bupati Bekasi
-
Bupati Bekasi di Tengah Pusaran Kasus Suap, Mengapa Harta Kekayaannya Janggal?
-
6 Fakta Tabrakan Bus Kru KRI Soeharso di Medan: 12 Personel Terluka
-
Pesan di Ponsel Dihapus, KPK Telusuri Jejak Komunikasi Bupati Bekasi
-
Rotasi 187 Perwira Tinggi TNI Akhir 2025, Kapuspen Hingga Pangkodau Berganti