News / Nasional
Selasa, 07 Oktober 2025 | 11:56 WIB
Presiden Direktur (Presdir) PT BRN Halim Kalla yang merupakan adik Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018 bersama tiga orang lainnya. (Foto: Istimewa)
Baca 10 detik
  • Kortas Tipikor Polri menetapkan empat tersangka, termasuk adik Jusuf Kalla, Halim Kalla, dan mantan Dirut PLN Fahmi Mochtar
  • Kasus bermula dari lelang fiktif pada 2008 di mana konsorsium milik Halim Kalla yang tidak memenuhi syarat dimenangkan
  • Proyek yang berjalan sejak 2009 hingga 2018 tidak pernah selesai dan kini terbengkalai

Suara.com - Skandal korupsi besar yang melibatkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat terkuak. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri secara resmi menetapkan empat orang tersangka, termasuk nama besar Halim Kalla, yang merupakan adik kandung dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla.

Penetapan tersangka ini diikuti dengan langkah tegas penyidik untuk mencegah para terduga pelaku melarikan diri ke luar negeri. Selain Halim Kalla, mantan Direktur Utama PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar, juga turut dicekal bersama dua tersangka lainnya, RR (Dirut PT BRN) dan HYL (Direktur Utama PT Praba).

"Kami juga akan mengeluarkan pencegahan kepergian keluar negeri," tegas Kakortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).

Kasus ini berawal dari sebuah proyek lelang ulang yang digelar PLN pada tahun 2008. Sejak awal, penyidik mengendus adanya permufakatan jahat antara oknum pejabat PLN dengan PT BRN, perusahaan yang dipimpin oleh Halim Kalla, untuk memenangkan tender pembangunan PLTU tersebut.

Faktanya, panitia pengadaan PLN nekat meloloskan konsorsium (KSO) BRN–Alton–OJSC, meskipun konsorsium tersebut jelas-jelas tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis.

Lebih parahnya lagi, penyidik menduga kuat bahwa dua perusahaan asing, Alton dan OJSC, hanyalah nama fiktif yang dicatut dan tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari konsorsium.

Kecurangan tidak berhenti di situ. "Pada tahun 2009 sebelum dilaksanakannya tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN," ujar Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).

Kontrak proyek senilai ratusan miliar rupiah ini akhirnya ditandatangani pada 11 Juni 2009. Namun, proyek tersebut sejak awal sudah bermasalah.

PLN belum memiliki pendanaan yang jelas, dan KSO BRN juga gagal melengkapi persyaratan yang dibutuhkan. Akibatnya, hingga kontrak berakhir pada 28 Februari 2012, pekerjaan baru rampung sekitar 57 persen.

Baca Juga: Takut Kabur? Polri Cegah Adik Jusuf Kalla hingga Eks Direktur PLN Keluar Negeri

Alih-alih dihentikan, kontrak proyek ini justru diperpanjang hingga 10 kali sampai 31 Desember 2018. Namun, hasilnya tetap nihil. Proyek tersebut tetap mangkrak dengan progres hanya mencapai 85,56 persen karena masalah keuangan yang tak kunjung usai.

Selama periode tersebut, PLN tercatat telah menggelontorkan dana sebesar Rp323,1 miliar dan USD 62,4 juta. Ironisnya, uang negara yang sudah keluar tersebut diduga mengalir secara tidak sah ke kantong para tersangka.

"Namun demikian, diduga bahwa ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN (yang berasal dari pembayaran proyek) ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah," jelas Cahyono.

Kini, PLTU 1 Kalimantan Barat yang seharusnya menjadi sumber energi bagi masyarakat, hanya menjadi tumpukan besi tua.

"Sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan terbengkalai, rusak dan berkarat, sehingga PT. PLN mengalami kerugian. Untuk total kerugian keuangan negaranya dengan kurs yang sekarang itu Rp1,35 triliun," beber Cahyono.

Meski status tersangka sudah melekat, penyidik belum melakukan penahanan. Cahyono menyatakan pihaknya masih terus melengkapi berkas perkara sebelum melakukan upaya paksa.

Load More