News / Nasional
Kamis, 18 Desember 2025 | 17:47 WIB
Ilustrasi polisi. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Baca 10 detik
  • Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentang penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil menuai kritik karena dianggap melanggar konstitusi.
  • Akademisi menilai peraturan tersebut bertentangan dengan hierarki perundang-undangan serta Putusan MK Nomor 114 Tahun 2025.
  • Fenomena ini dianggap sebagai gejala repolitisasi kepolisian yang memperluas kekuasaan polisi melebihi ranah keamanan.

Suara.com - Terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuai kritik tajam dari kalangan akademisi.

Peraturan yang mengatur penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil ini dinilai bukan sekadar masalah administrasi, melainkan indikasi serius adanya pembangkangan terhadap konstitusi.

Analis Politik dan Militer Universitas Nasional, Selamat Ginting, menegaskan bahwa Perpol tersebut menabrak hierarki perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, langkah ini memperlihatkan kentalnya nuansa politik kekuasaan yang mencoba mengangkangi hukum.

"Dari analisis politik, saya melihat ada politik kekuasaan di sini. Ini bukan semata persoalan hukum normatif, tapi nuansa politiknya sangat kental," ujar Ginting dalam kanal YouTube Forum Keadilan TV, Kamis (18/12/2025).

"Ada konflik antara hukum dengan kekuasaan, di mana unsur kekuasaan lebih ditonjolkan dan itu sekaligus mengebiri hukum," katanya menambahkan.

Ginting menyoroti bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 secara otomatis bertentangan dengan Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh DPR bersama Presiden, serta melawan Putusan MK Nomor 114 Tahun 2025 yang bersifat final dan mengikat.

“Dalam teori demokrasi konstitusional, ketika lembaga eksekutif dalam hal ini kepolisian, membuat aturan yang melawan UU dan MK, pembangkangan eksekutif," tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa fenomena ini menjadi sorotan global karena Indonesia dianggap sedang menuju negara yang mengabaikan konstitusinya.

Baca Juga: Tak Ambil Pusing Perpol Dianggap Kangkangi Putusan MK, Ini Kata Kapolri

Ginting bahkan memperingatkan potensi kembalinya fasisme jika aparat bersenjata memiliki kekuasaan yang terlalu dominan melampaui militer.

Dalam perspektif relasi sipil-militer, Ginting menilai Perpol ini adalah gejala repolitisasi kepolisian.

Ia membandingkan regulasi ini dengan UU TNI Tahun 2004 yang secara spesifik telah mengatur kementerian dan lembaga mana saja yang boleh diduduki militer aktif.

Sementara itu, UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 tidak mencantumkan kementerian dan lembaga yang bisa diduduki polisi aktif.

"Sejak awal UU Polri tahun 2002 tidak mencantumkan kementerian dan lembaga yang bisa diduduki polisi aktif, berbeda dengan UU TNI. Jadi tidak bisa dibandingkan,” ujar Ginting

Ia menyebut publik kini melihat fenomena ini bukan lagi sekadar dwifungsi seperti masa lalu, melainkan "multifungsi kepolisian". Polisi dinilai tidak hanya memegang monopoli keamanan, tetapi juga masuk ke ranah kebijakan sipil dan politik administratif.

Load More