News / Nasional
Selasa, 30 Desember 2025 | 18:23 WIB
Arsip - Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kanan) menerima berita acara pelantikan mereka dari pimpinan MPR pada sidang paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). [ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/app/YU]
Baca 10 detik
  • PUSHAM dan PSAD UII menyoroti kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran terbentuk karena akomodasi politik, bukan kompetensi sosial.
  • Kedua pusat studi menyoroti mandeknya penyelesaian kasus HAM berat serta penguatan *autocratic legalism* sepanjang 2025.
  • Ada kekhawatiran menguatnya militerisasi program strategis yang berpotensi melemahkan supremasi sipil negara.

Suara.com - Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti berbagai persoalan serius dalam satu tahun awal pemerintahan Prabowo SubiantoGibran Rakabuming Raka.

Catatan tersebut disampaikan dalam refleksi akhir tahun 2025 yang menyoroti aspek hukum, politik, serta hak asasi manusia.

Direktur PUSHAM UII, Eko Riyadi, menilai sejak awal kabinet Prabowo–Gibran lebih dibentuk atas dasar kepentingan akomodasi politik, alih-alih untuk menjawab persoalan sosial masyarakat.

Menurut Eko, gemuknya kabinet dan pengisian jabatan publik yang tidak berbasis kompetensi memicu berbagai persoalan tata kelola pemerintahan.

"Ini adalah kabinet terbesar pascareformasi," kata Eko Riyadi dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Selasa (30/12/2025).

Pihaknya menilai kabinet yang 'gemuk' itu tidak solid, tercermin dari kebijakan pemerintah yang kerap berubah dan minim koordinasi. Beberapa kebijakan bahkan disebut dicabut sebelum sempat diterapkan, seperti kebijakan LPG 3 kilogram dan rencana kenaikan PPN 12 persen.

Selain persoalan tata kelola, kedua lembaga itu turut menyoroti mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam catatan mereka, terdapat ribuan korban kekerasan aparat sepanjang tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran, termasuk korban jiwa dalam demonstrasi Agustus 2025.

Pernyataan sejumlah pejabat negara, termasuk Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dinilai mengerdilkan kasus-kasus yang telah diakui negara tersebut dengan menyebutnya sebagai kejadian yang "tak ada bukti".

Baca Juga: Tak Ada di LHKPN, Publik Pertanyakan Helikopter Pribadi Prabowo yang Disebut Teddy Dikirim ke Aceh

Ungkapan ini dapat dinilai sebagai upaya pengaburan fakta sejarah, termasuk melalui gerakan penyusunan "sejarah resmi" Indonesia yang dimotori oleh Kementerian Kebudayaan.

"Alih-alih berorientasi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, respons pemerintah justru nirempati," ujarnya.

Direktur PSAD UII, Masduki, turut menyoroti menguatnya kecenderungan autocratic legalism atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang dinilai ugal-ugalan.

Menurutnya, proses legislasi kerap dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik, sehingga melemahkan fungsi pengawasan DPR dan DPD.

"Pada skala yang lebih luas, fenomena ini berdampak pada matinya fungsi pengawasan atau controlling yang seharusnya menjadi fungsi utama kekuasaan legislatif," tegas Masduki.

Fenomena lain yang menjadi perhatian adalah menguatnya militerisasi dalam program-program strategis pemerintah, termasuk Makan Bergizi Gratis (MBG), food estate, dan Koperasi Merah Putih.

Load More