Suara.com - Indonesia Coruption Watch menilai, terdapat 10 persoalan yang terjadi dalam pergelaran Pilkada serentak 2018.
Peneliti Divisi Hukum Politik ICW Donald Fariz mengatakan, sejak tahun 2010 hingga 2017, lembaganya mencatatat sebanyak 215 kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang sudah diproses secara hukum.
Kasus itu bervariasi, mulai dari mengakali anggaran proyek sampai suap.
"Angka ini merupakan angka yang tinggi dan mengkhawatirkan. Menggambarkan bahwa demokrasi yang tumbuh berkembang di negara ini diselimuti persoalan korupsi," kata Donald dalam diskusi "Ancaman Korupsi Di Balik Pemilu Serentak" di Kantor ICW, Jalan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/1/2018).
Menurut Donald, persoalan itu berpeluang kembali terjadi pada Pilkada serentak 2018 dan juga Pemilu 2019. Sebab, tidak ada perubahan mendasar dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial.
"Perubahan UU pilkada yang secara konsisten dilakukan oleh pemerintah dan DPR belum mampu memperkuat kerangka menuju demokrasi yang lebih substansial, karena tidak menjawab persoalan integritas pilkada," ujar Donald.
Karena itulah, kata Donald, ICW mencatat setidaknya ada 10 persoalan yang membayangi pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.
Pertama, Jual Beli Pencalonan (candidacy buying) antara kandidat dan partainpolitik.
Baca Juga: Rumahnya Kebakaran, Pasangan Muda Ini Malah Asik Berpose
Kedua, munculnya nama-nama calon bermasalah (mantan Narapidana atau tersangka korupsi).
Ketiga, munculnya calon tunggal. KPU pada 10 Januari 2018 mengumumkan terdapat 19 daerah dengan calon tunggal. Tiga dari empat kabupaten atau kota yang akan menggelar Pilkada di Banten bahkan mempunyai calon tunggal.
Keempat, kampanye berbiaya tinggi akibat dinaikannya batasan sumbangan dana kampanye dan diizinkannya calon memberikan barang seharga maksimal Rp 25 ribu kepada pemilih.
Kelima, pengumpulan model ilegal (jual beli izin usaha, jual beli jabatan, suap proyek) dan politisasi program pemerintah (dana hibah, bantuan sosial, dana desa dan anggaran rawan lainnya) untuk kampanye.
Keenam, politisasi birokrasi dan pejabat negara, mulai dari birokrat, guru hingga institusi TNI/Polri.
Ketujuh, politik uang (jual beli suara pemilih).
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Cek Fakta: Viral Klaim Pigai soal Papua Biarkan Mereka Merdeka, Benarkah?
-
Ranking FIFA Terbaru: Timnas Indonesia Makin Pepet Malaysia Usai Kena Sanksi
-
Sriwijaya FC Selamat! Hakim Tolak Gugatan PKPU, Asa Bangkit Terbuka
-
Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur
-
Luar Biasa! Jay Idzes Tembus 50 Laga Serie A, 4.478 Menit Bermain dan Minim Cedera
Terkini
-
Wagub Babel Hellyana Resmi Jadi Tersangka Ijazah Palsu
-
Eksklusif! Jejak Mafia Tambang Emas Cigudeg: Dari Rayuan Hingga Dugaan Setoran ke Oknum Aparat
-
Gibran Bagi-bagi Kado Natal di Bitung, Ratusan Anak Riuh
-
Si Jago Merah Ngamuk di Grogol Petamburan, 100 Petugas Damkar Berjibaku Padamkan Api
-
Modus 'Orang Dalam' Korupsi BPJS, Komisi 25 Persen dari 340 Pasien Hantu
-
WFA Akhir Tahun, Jurus Sakti Urai Macet atau Kebijakan Salah Sasaran?
-
Kejati Jakarta Tetapkan 2 Pegawai BPJS Ketenagakerjaan Jadi Tersangka Tindak Pidana Klaim Fiktif JKK
-
Sempat Kabur dan Nyaris Celakai Petugas KPK, Kasi Datun HSU Kini Pakai Rompi Oranye
-
Jadi Pemasok MBG, Perajin Tempe di Madiun Raup Omzet Jutaan Rupiah per Hari
-
Cegah Kematian Gajah Sumatera Akibat EEHV, Kemenhut Gandeng Vantara dari India