Suara.com - Upaya daur ulang global saat ini gagal mengimbangi laju konsumsi dunia yang terus meningkat. Laporan terbaru dari lembaga think tank asal Belanda, Circle Economy, menunjukkan bahwa hanya 6,9 persen dari 106 miliar ton bahan yang digunakan setiap tahun berasal dari sumber daur ulang.
Angka ini terus menurun selama delapan tahun berturut-turut, dari 9,1 persen pada 2015. Penurunan ini dianggap sebagai bukti bahwa sistem ekonomi dunia masih sangat bertumpu pada model produksi dan konsumsi tanpa batas, sementara tanggung jawab atas limbah yang dihasilkan sangat minim.
“Masalah ini bersifat sistemik,” ujar para peneliti Circle Economy dalam laporan tahunan mereka. Mereka menyebut bahwa konsumsi global tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan populasi dunia, dan mayoritas perusahaan masih mengabaikan penggunaan material daur ulang—tanpa konsekuensi hukum maupun ekonomi yang jelas.
Menurut laporan tersebut, bahkan dalam skenario paling ideal—di mana seluruh barang yang bisa didaur ulang benar-benar diproses ulang—tingkat daur ulang global hanya akan mencapai 25 persen. Artinya, sistem daur ulang saja tidak cukup untuk mengatasi krisis limbah yang terus meningkat. Diperlukan upaya lebih besar untuk menekan konsumsi secara menyeluruh.
CEO Circle Economy, Ivonne Bojoh, menyebut bahwa krisis lingkungan saat ini memerlukan perubahan sistemik yang lebih mendalam. “Analisis kami jelas: bahkan di dunia yang ideal, kita tidak bisa menyelesaikan krisis tiga planet—krisis iklim, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati—hanya dengan daur ulang,” ujarnya.
Bojoh menekankan pentingnya penerapan ekonomi sirkular yang lebih luas. Ini mencakup pengelolaan biomassa secara berkelanjutan, pemanfaatan kembali stok material dalam bangunan dan infrastruktur, serta penghentian praktik membuang bahan terbarukan ke tempat pembuangan akhir.
Meski kesadaran masyarakat terhadap pentingnya daur ulang meningkat, kenyataannya penggunaan bahan baku baru tetap mendominasi. Dari 2018 hingga 2021, pemanfaatan bahan daur ulang dalam proses produksi memang meningkat sebesar 200 juta ton. Namun, lonjakan ini masih kalah jauh dibanding pertumbuhan ekstraksi bahan mentah baru.
Data menunjukkan bahwa selama 50 tahun terakhir, ekstraksi bahan baku dunia meningkat lebih dari tiga kali lipat. Kini, dunia menambang dan memanfaatkan lebih dari 100 miliar ton material per tahun. Jika tidak ada intervensi besar-besaran, angka ini diperkirakan akan melonjak 60 persen lagi pada 2060.
Ketimpangan konsumsi global juga menjadi sorotan utama. Konsumsi per kapita global naik dari 8,4 ton pada 1970 menjadi 12,2 ton pada 2020. Namun, distribusi konsumsi ini sangat timpang. Negara-negara berpenghasilan tinggi mengonsumsi hingga enam kali lebih banyak dibanding negara berpenghasilan rendah—rata-rata 24 ton per orang berbanding 4 ton.
Baca Juga: Perusahaan Ini Sulap 25 Ton Limbah Logistik untuk Didaur Ulang
Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang hanya mencakup 10 persen populasi dunia, justru menyerap lebih dari setengah total bahan mentah global.
Laporan ini mendesak agar dibentuk target sirkularitas global yang mengatur pengurangan penggunaan bahan mentah dan energi, selain mendorong peningkatan daur ulang. Salah satu rekomendasinya adalah pembentukan International Material Agency—badan internasional setara Badan Energi Internasional (IEA)—yang bertugas membantu negara-negara mengukur penggunaan material dan memantau transisi menuju ekonomi sirkular.
“Pergeseran menuju ekonomi sirkular tak bisa terjadi tanpa dukungan kebijakan yang kuat,” tulis laporan tersebut. “Pemerintah harus berperan aktif menghapus praktik pemborosan dan mendorong inovasi dalam cara kita memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Di saat yang sama, tingkat daur ulang limbah di Indonesia secara umum masih rendah—hanya sekitar 11 persen. Angka ini jauh dari cukup untuk menahan laju pertambahan sampah yang mengalir ke tempat pembuangan akhir di seluruh dunia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 10 Rekomendasi Skincare Wardah untuk Atasi Flek Hitam Usia 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
-
Danantara 'Wajibkan' Menkeu Purbaya Ikut Rapat Masalah Utang Whoosh
Terkini
-
KPK Bentuk Kedeputian Intelijen, Jadi Mata dan Telinga Baru Tangkap Koruptor
-
Minta Pemerintah Pikirkan Nasib Bisnis Thrifting, Adian: Rakyat Butuh Makan, Jangan Ditindak Dulu
-
Peneliti IPB Ungkap Kondisi Perairan Pulau Obi
-
Ngaku Dikeroyok Duluan, Penusuk 2 Pemuda di Condet: Saya Menyesal, Cuma Melawan Bela Diri
-
Kepala BGN: Minyak Jelantah Bekas MBG Diekspor Jadi Avtur Singapore Airlines, Harganya Dobel
-
Tegas Tolak Mediasi dengan Jokowi, Roy Suryo Cs Lebih Pilih Dipenjara?
-
PKS Minta Raperda Perubahan Wilayah Jakarta Ditunda: KTP hingga Sertifikat Diubah Semua, Bikin Kacau
-
Dukung Langkah Prabowo Setop Tradisi Kerahkan Siswa saat Penyambutan, KPAI Ungkap Potensi Bahayanya
-
KPK Sita Rumah hingga Mobil dan Motor yang Diduga Hasil dari Korupsi Kuota Haji
-
Usai KUHAP Rampung Dibahas, Kapan DPR Mulai Bahas RUU Perampasan Aset? Ini Kata Ketua Komisi III