Suara.com - Krisis iklim bukan hanya persoalan teknis atau akademik. Ia menuntut keterlibatan yang lebih dalam, dari keyakinan moral hingga aksi nyata secara kolektif.
Hal ini ditegaskan oleh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof. Jamhari, dalam pembukaan konferensi internasional bertema lingkungan yang digelar di kampus UIII, Depok, Kamis (17/7).
“Ini bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi juga mencerminkan komitmen kuat untuk menghadapi salah satu tantangan paling mendesak saat ini. Konferensi ini mengingatkan kita bahwa krisis iklim membutuhkan tidak hanya keterlibatan intelektual, tetapi juga keyakinan moral dan aksi bersama,” katanya seperti dikutip dari ANTARA.
Konferensi ini merupakan hasil kolaborasi antara Fakultas Ilmu Sosial UIII, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.
Mengusung tema “Religious Environmentalism in Action: Knowledge, Movements, and Policies”, acara ini berlangsung selama tiga hari, dari 16 hingga 18 Juli 2025.
Lewat konferensi ini, para akademisi, tokoh agama, aktivis, dan pembuat kebijakan dari berbagai negara bertukar gagasan tentang peran agama dalam isu keberlanjutan dan krisis iklim.
Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Dr. Didin Syafruddin, menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari program Religious Environmentalism Actions (REACT) yang mereka gagas bersama Kedutaan Besar Belanda.
“Proyek ini bertujuan untuk memberdayakan pemimpin muda dan komunitas keagamaan guna mencapai pembangunan lingkungan yang berkelanjutan di Indonesia,” jelasnya.
Konferensi ini juga menjadi bagian dari perayaan 30 tahun jurnal Studia Islamika, yang secara konsisten mendorong diskursus akademik tentang Islam di Asia Tenggara.
Baca Juga: Zona 5 TPA Sarimukti Mulai Dioperasikan
Kepala Departemen Ekonomi Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta, Adriaan Palm, turut menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas iman dan nilai dalam menghadapi krisis iklim.
“Krisis iklim menuntut lebih dari sekadar solusi teknologi, dibutuhkan kebijaksanaan spiritual dan keberanian kolektif. Organisasi keagamaan di seluruh dunia telah mengambil tindakan nyata, menanam pohon, melindungi sungai, dan mendidik generasi penerus. Upaya ini berakar pada nilai-nilai suci, dan harus diakui serta didukung,” ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Rp80 Jutaan: Dari Si Paling Awet Sampai yang Paling Nyaman
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
- Timur Kapadze Tolak Timnas Indonesia karena Komposisi Pemain
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 19 Kode Redeem FC Mobile 5 Desember 2025: Klaim Matthus 115 dan 1.000 Rank Up Gratis
Pilihan
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
Terkini
-
Wamensos Agus Jabo Ungkap Parahnya Dampak Banjir Bandang di Aceh Tamiang
-
Prabowo Berangkat Menuju Aceh Pagi Ini: Kita Buktikan Reaksi Pemerintah Cepat
-
Ustaz Adi Hidayat: Elit Politik Stop Atraksi, Mohon Perhatian Tulus untuk Korban Bencana
-
Komunitas Disabilitas Galang Donasi Rp 200 Juta untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatra
-
Pramono Anung Dorong Event Lari Jadi Cara Baru Menjelajahi Jakarta
-
Pemerintah Tolak Bantuan Asing, Gubernur Aceh Khawatir Korban Bencana Meninggal Kelaparan
-
Update Korban Bencana Sumatera: 916 Meninggal Dunia, Ratusan Orang Hilang
-
Ahli Cornell University Kagum Gereja Jadi 'Benteng' Masyarakat Adat di Konflik Panas Bumi Manggarai
-
Kemendagri Angkat Bicara Tanggapi Bupati Aceh Selatan Bepergian ke Luar Negeri di Tengah Bencana
-
Jalan Lintas Pidie Jaya - Bireuen Aceh Kembali Lumpuh Diterjang Banjir Minggu Dini Hari