Suara.com - Sebuah analisis pedas dan langka datang dari seorang mantan orang nomor dua di Kepolisian RI. Tanpa tedeng aling-aling, Komjen Pol (Purn) Oegroseno menyebut bahwa akar dari terseretnya institusi Polri ke dalam pusaran politik praktis bermula dari sebuah "kesalahan fatal" yang terjadi pada 2015: pengangkatan Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri.
Bagi Oegroseno, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu tidak hanya merusak tatanan senioritas yang telah lama dijaga, tetapi juga membuka kotak pandora yang membuat Polri rentan diintervensi dan kehilangan netralitasnya.
'Dosa Asal' 2015: Titik Mula Politisasi Polri
Oegroseno dengan tegas menunjuk satu momen spesifik sebagai titik awal kemunduran profesionalisme Polri. Baginya, semua berawal dari keputusan politik di level tertinggi yang mengabaikan tradisi dan tatanan internal.
"Saya melihat kan sejak 2015 lah ya, begitu Pak Jokowi jadi presiden memberhentikan Pak Sutarman jadi kapolri itu sudah salah fatal. Fatal," cetusnya dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV.
Kesalahan fatal itu, menurutnya, berlanjut pada manuver yang belum pernah terjadi sebelumnya: melompati beberapa generasi angkatan untuk menaikkan seorang perwira yang jauh lebih junior ke kursi Tribrata 1 (TB1), sebutan untuk Kapolri.
"Naiknya Jenderal Tito Karnavian juga merupakan bagian dari kesalahan fatal itu," tegasnya.
Luka Senioritas: 'Perasaan Kita Enggak Bisa Nerima'
Oegroseno tidak segan-segan membuka luka lama di kalangan perwira tinggi saat itu. Ia menggambarkan betapa keputusan tersebut menciptakan guncangan psikologis dan rasa ketidakadilan yang mendalam di antara para senior yang kariernya tiba-tiba dilangkahi.
Baca Juga: Pastikan Lokasi Pusat Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan, Mendagri Kunjungi Wamena
"Iya kan bisa dilihat harusnya per angkatan ini kan ketahuan. Saya tingkat empat waktu di pendidikan akabri ini. Kemudian begitu kita sudah menjelang masa pensiun tinggal 2 3 tahun tinggal 1 tahun 2 tahun. Nah, yang jadi kapolrinya dulu tingkat satu nih beda 4 tahun," paparnya, menggambarkan jurang generasi yang menganga.
Dengan terus terang, ia menyuarakan perasaan para seniornya, "Itu perasaan kita enggak bisa nerima. Terus terang aja."
Ia pun mempertanyakan dasar meritokrasi yang digunakan untuk menjustifikasi lompatan karier tersebut. Baginya, dalam sebuah institusi dengan pendidikan dan pelatihan yang seragam, tidak ada prestasi individu yang bisa begitu luar biasa hingga membenarkan perusakan hierarki.
"Sekarang apa sih prestasi luar biasa Akabari ini Mas? Tidurnya sama-sama. Bangun pagi sama-sama. Makan pagi sama-sama. di kuliah sama-sama, pulang pergi kuliah sama-sama. Enggak ada yang enggak sama-sama," sindirnya.
Baginya, yang membedakan adalah seni kepemimpinan, sebuah kualitas intangible yang dinilai seiring berjalannya waktu, bukan melalui lompatan instan.
Terseret Terlalu Jauh dan Panggilan Kembali ke Khittah
Puncak dari kritik Oegroseno adalah bagaimana "kesalahan fatal" pada 2015 itu secara langsung menjadi pintu masuk bagi politisasi institusi Polri. Netralitas menjadi barang mahal ketika pimpinan tertinggi diangkat melalui jalur yang tidak konvensional, yang berpotensi menciptakan utang budi politik.
"Ini berawal dari tahun 2015 tadi itu. Polisi ditarik ke politik terlalu jauh," ungkapnya. "siapa yang bisa yang mengatakan bahwa oh ini tidak membantu kepala daerah yang dipilih dalam Pilkada gitu kan kelihatan ya," ujar Oegroseno.
Oleh karena itu, ia menyerukan panggilan yang mendesak agar Polri segera ditarik kembali ke relnya. Kembali menjadi institusi yang profesional, netral, dan mengabdi pada rakyat, bukan pada kepentingan pejabat atau kekuasaan.
"ini harus kembalikan lagi back to profesionalisme gitu loh. Tarik lagi ke sini. Jadi benar-benar netral polisi itu tribrata, abdi utama dari Indonesia dan bangsa ya kan," tegasnya.
Oegroseno menutup dengan sebuah pengingat keras tentang esensi tugas kepolisian, "Warga negara teladan daripada negara wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat, bukan ketertiban pribadi pejabat. Enggak ada enggak ada ketentuan situ."
Berita Terkait
-
Pastikan Lokasi Pusat Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan, Mendagri Kunjungi Wamena
-
Eks Wakapolri Soroti Penempatan Perwira di Luar Struktur: Jangan Sandang Pangkat Polisi
-
Penguntitan Jampidsus: Mantan Wakapolri Ungkap Aroma Backing & Penyalahgunaan Wewenang Densus 88
-
Eks Wakapolri Bongkar 'Perang Dingin' Polri-Kejaksaan: Soroti Arogansi dan Beda Usia Pimpinan
-
Geger Tes DNA Ridwan Kamil-Lisa Mariana: Hasil Keluar Besok, Tapi...
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
-
Muncul Tudingan Ada 'Agen' Dibalik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir, Siapa Dia?
-
BBM RI Dituding Mahal Dibandingkan Malaysia, Menkeu Purbaya Bongkar Harga Jual Pertamina
Terkini
-
Satu Bulan Tragedi Affan Kurniawan: Lilin Menyala, Tuntutan Menggema di Benhil!
-
Polemik Relokasi Pedagang Pasar Burung Barito, DPRD DKI Surati Gubernur Pramono Anung
-
Siapa Ketum PPP yang Sah? Pemerintah akan Tentukan Pemenangnya
-
KPAI Minta Polri Terapkan Keadilan Restoratif untuk 13 Anak Tersangka Demonstrasi
-
Program Magang Fresh Graduate Berbayar Dibuka 15 Oktober, Bagaimana Cara Mendaftarnya?
-
DPR RI Kajian Mendalam Putusan MK soal Tapera, Kepesertaan Buruh Kini Sukarela
-
Setelah Kasih Nilai Merah, ICW Tagih Aksi Nyata dari Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
-
DPRD DKI Kaget Dana Transfer Pusat ke Jakarta Dipangkas, APBD 2026 Terancam Turun
-
DPRD DKI Kaget Dana Transfer Pusat ke Jakarta Dipangkas, APBD 2026 Terancam Turun
-
KPK Ungkap Pengembalian Dana Haji Ilegal! Siapa Saja yang Sudah Mengaku?