Suara.com - Satu komunitas kecil di pedalaman hutan belantara Sumatera, Indonesia, menjadi jantung pertempuran untuk mempertahankan lahan garapan. Pertempuran yang bisa mengganti sistem hukum kepemilikan lahan yang kacau dan eksploitatif, sebuah "revolusi agraria".
Cuaca dingin bergelayut di antara kegelapan malam di belantera Pulau Sumatera. Namun, sekelompok tetua tetap meringkuk melingkari selembar peta, merencanakan strategi pertempuran mereka.
Tahun lalu, mereka menorehkan sejarah dalam tonggak kemenangan kecil mempertahankan hak mereka atas tanah garapan. Tahun 2016, mereka dijanjikan mendapat hak atas tanah yang sebenarnya sudah dikuasai komunitas mereka sejak beberapa generasi lampau.
Tapi kekinian, mereka mendapat kabar buruk. Seorang inspektur lokal meminta sejumlah lahan itu untuk diberikan kepada perusahaan besar bubur kertas. Padahal, lahan itu tempat mereka biasa memanen benzoin—zat seperti kemenyan. Mereka menilai permintaan itu sebagai pengkhianatan.
Sembari menyeruput teh, para tetua berdebat dalam bahasa campuran antara Batak dan bahasa Indonesia. Mereka tengah merencanakan aksi perlawanan untuk keesokan hari. Selama setahun terakhir, setiap hari mereka selalu membuat rencana perlawanan.
"Kami meneruskan perjuangan. Ini adalah satu-satunya pilihan bagi kami," tutur Arnold Lumban Batu yang ikut pertemuan yang diorganisasikan komunitas adatnya.
"Sejujurnya, semua dari kami lebih memilih mati daripada kalah," tegasnya kepada dua jurnalis The Guardian yang datang, Vincent Bevins dan Humbang Hasundutan.
Baca Juga: Sindikat Saracen, Asma Dewi Adik dari Anggota Mabes Polri
Mereka yang bersamuh adalah anggota komunitas pribumi "Pandumaan-Sipituhuta". Mereka mungkin bisa mengubah peraturan kapitalisme di Indonesia, yang mendominasi puluhan juta orang.
Bersama dengan komunitas lain, mereka memelajari hak-hak masyarakat adat yang dilindungi konstitusi. Mereka juga pernah melobi untuk mendapat dukungan Presiden Joko Widodo, dengan harapan, dapat menguasai tanah adat sesuai ketentuan.
Kaum tani dan masyarakat yang juga berjuang mendapatkan haknya di hutan-hutan hujan tropis Indonesia tampak menatap lekat-lekat kepada komunitas tersebut. Banyak ahli agraria, aktivis HAM, dan ekologis meyakini, pendekatan aksi yang dilakukan komunitas Pandumaan-Sipituhuta adalah pilihan terbaik untuk melakukan revolusi agraria, menghanti sistem hukum tanah yang tak berpihak.
"Namun, usaha ini belum tentu berhasil. Amerika Serikat berada di belakang sistem perundang-undangan lahan yang tak menguntungkan petani. Dukungan politik dari Jakarta, ibu kota, mungkin berubah-ubah, dan ada banyak rintangan logistik," tulis Vincent Bevins dan Humbang Hasundutan dalam artikelnya "'We'd rather die than lose': villagers in Indonesia fight for a land rights revolution", The Guardian, Senin (4/9/2017).
Warga komunitas itu selalu bangga ketika suatu malam saat mereka menyerbu salah satu situs tempat perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) berencana memulai menebangi pepohonan. Mereka menyerbu dan mengambil seluruh peralatan milik perusahaan tersebut.
Mereka juga secara jujur mengakui masih trauma ketika polisi mendatangi desa dan menangkapi banyak warga. Sebagai balasan, mereka juga mengingat komunitas tetangganya, yakni warga adat Aek Lung, mencanangkan aksi "gerilya menanam". Aksi itu berupa menanami lahan-lahan adat mereka yang sudah diambil TPL, persis ketika perusahaan itu memanen pohon ekaliptus.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
BPJS Kesehatan Angkat Duta Muda: Perkuat Literasi JKN di Kalangan Generasi Penerus
-
Kondisi Gunung Semeru Meningkat ke Level Awas, 300 Warga Dievakuasi
-
Soal Pelimpahan Kasus Petral: Kejagung Belum Ungkap Alasan, KPK Bantah Isu Tukar Guling Perkara
-
Semeru Status Awas! Jalur Krusial Malang-Lumajang Ditutup Total, Polisi Siapkan Rute Alternatif
-
Babak Baru Korupsi Petral: Kejagung Resmi Limpahkan Kasus ke Tangan KPK, Ada Apa?
-
DPR-Kemdiktisaintek Kolaborasi Ciptakan Kampus Aman, Beradab dan Bebas Kekerasan di Sulteng
-
Fakta Baru Sengketa Tambang Nikel: Hutan Perawan Dibabat, IUP Ternyata Tak Berdempetan
-
Survei RPI Sebut Tingkat Kepuasan Publik Terhadap Polri Tinggi, Ini Penjelasannya
-
Momen Roy Suryo Walk Out dari Audiensi Reformasi Polri, Sentil Otto Hasibuan: Harusnya Tahu Diri
-
Deteksi Dini Bahaya Tersembunyi, Cek Kesehatan Gratis Tekan Ledakan Kasus Gagal Ginjal