Suara.com - Banyak orang yang mengira seluruh warga Israel adalah zionis, dan mendukung pemerintahnya menjajah Palestina. Tak sedikit pula yang mengira konflik Israel-Palestina adalah persoalan agama.
Namun, paradigma seperti itu dinilai keliru. Setidaknya oleh kaum komunis Israel, yang bahu membahu dengan warga Palestina untuk menentang penjajahan rezim Zionis.
Salah satunya adalah perempuan Israel yang kekinian berusia 91 tahun bernama Tamar Peleg-Sryck.
Mantan pengacara humanitarian ini terkenal karena berhasil membebaskan ratusan warga Palestina yang ditahan secara sewenang-wenang oleh militer Israel.
Tak sedikit tahanan yang Tamar bebaskan adalah bocah-bocah Palestina.
"Dulu aku seorang guru. Tapi, karena aku seorang komunis, aku bertekad membantu rakyat Palestina lepas dari kolonialisme Israel. Aku lantas mengambil kuliah malam Ilmu Hukum saat berusia 60 tahun," tutur Tamar seperti dilansir media Israel, Haaretz, Sabtu (2/12/2017).
Setelah menyelesaikan kuliah hukumnya pada usia yang tak lagi bisa dibilang muda, Tamar lantas bergabung dengan kantor hukum Avigdor Feldman. Ia lantas tampil sebagai pengacara ratusan warga Palestina yang ditahan Israel.
Lima tahun silam, 2013, ia akhirnya pensiun sebagai pengacara. Ia dibenci oleh pemerintah dan militer Israel, tapi baginya, seluruh penjajahan dan rasialisme harus dihapuskan.
Keyakinannya itu tak bisa dilepaskan dari peristiwa buruk yang dialaminya sejak masih kecil. Perempuan kehalirahan tahun 1926 ini merupakan satu dari sedikit kaum Yahudi yang mampu bertahan hidup setelah era pemusnahan massal (holocaust) Nazi Jerman.
Baca Juga: Video Porno Alumni UI Ternyata Direkam Mantan Pacar di Apartemen
"Aku diselamatkan oleh operasi penyelamatan yang dilakukan oleh remaja-remaja Iran tahun 1943. Ada sekitar 1.000 Yahudi yang diselamatkan anak-anak Iran. Terima kasih pula kepada Uni Soviet yang ikut menyelamatkan kami ke Kazakhstan dan akhirnya kembali ke Palestina," tuturnya.
Tamar kekinian tercatat sebagai warga Tel Aviv. Ia sempat menjadi anggota Partai Komunis Israel. Namun, ketika partai itu terpecah menjadi dua kubu, ia memutuskan tak memihak ke mana pun dan beralih menjadi pengacara bagi rakyat Palestina.
"Kewajibanku sebagai komunis untuk membantu rakyat Palestina. Konflik ini jelas penjajahan Israel atas motif ekonomi, bukan agama. Israel sudah menjadi kaki tangan imperialisme Amerika Serikat di Timur Tengah," tukasnya.
Selain Tamar, ada pula seorang laki-laki Israel kelahiran Bulgaria bernama Albert Salomon. Ia mengakui, terdapat politik rasialis di Israel yang mengeksploitasi kaum pekerja Arab.
"Kaum kapitalis maupun kelompok Kiri di Israel menggunakan kaum pekerja Arab untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk membebaskan mereka. Sebagai seorang komunis, aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Aku ikut demonstrasi-demonstrasi untuk memprotes dan mengampanyekan revolusi sosial," tuturnya.
"Bagiku, komunisme adalah Torah (Taurat), yakni perintah untuk membebaskan semua orang. Tak ada yang berbeda, semua manusia harus hidup dalam kapasitas yang sama dan merdeka," tuturnya.
Sementara perempuan komunis Israel lainnya, Tamar Gozansky (77), mengatakan Partai Hadash besutannya yang berideologi Marxis-Leninis bertekad menyatukan warga Yahudi dan Arab untuk membangun negara bersama yang adil.
"Aku membangun Partai Hadash untuk mempersatukan kaum pekerja Yahudi maupun Arab sejak tahun 1977. Kini, kami menjalin kerja sama dengan Partai Komunis Palestina untuk beragam isu terutama menentang zionisme dan persekusi anti-komunis di kedua wilayah," ungkapnya.
Perempuan aktivis Partai Hadash lainnya, Fathia Sageer (62), mengatakan menjadi komunis karena menyadari bahwa fundamentalisme agama maupun etnisitas bukan jalan keluar bagi kesejahtaraan warga yahudi maupun Arab Palestina.
"Ketika rakyat terjerat kemiskinan dan kehilangan harapan, banyak dari mereka yang perlindungan yang merasa nyaman di balik agama. Namun, satu-satunya yang bisa menjawab pertanyaan besar mengenai 'kenapa mereka miskin, dan bagaimana jalan pembebasannya?' adalah komunisme," tandasnya.
Berita Terkait
-
Polit Biro Hamas Tolak Kunjungan Wapres AS ke Palestina
-
Fahri Hamzah: Indonesia Punya Utang Belum Terbayar ke Palestina
-
Dubes Palestina: Anda Pernah Dengar Israel Tentukan Batas Negara?
-
Ribuan Warga Israel Aksi Tuntut PM Netanyahu Dihukum
-
PBB Gelar Pemungutan Suara Terkait Klaim Trump Terhadap Yerusalem
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO